Uhuy uhuy!
Proyek #Bloggers' Challenges kali ini akan membahas tentang bagaimana seharusnya peran istri di dalam rumah tangga, baik dari sudut pandang suami maupun istri. Topik renyah serenyah rempeyek udang, "Istri: berkarir atau ibu rumah tangga" ini diajukan oleh Nurwahidah Ramadhani Waruwu.
Mari kita ulas secara singkat padat dan ga tepat. Ahahahaha
Perhatian sebelumnya, tulisan ini nantinya akan memuat opini Penulis dari sudut pandang Penulis sebagai suami maupun sebagai istri. Penulis hanya memosisikan diri, ga beneran melakoni. Nikah aja belum, kok.
Oke, lanjut!
Istri: Berkarir atau Ibu Rumah Tangga?
Ikatan pernikahan merupakan hubungan suci yang memersatukan dua pribadi dalam satu bangunan keluarga, menyatukan dua keluarga masing-masing pasangan. Pernikahan ibarat sebuah pesawat, dengan sang suami menjadi pilotnya dan sang istri menjadi wakil pilot. Pilot dan wakil pilot harus bersinergi, bekerjasama, agar pesawat yang mereka kemudikan sampai ke tempat tujuan dengan selamat.
Lantas apa tujuan sebuah pernikahan itu sendiri?
Banyak.
Adakalanya mereka menikah agar memperoleh kebahagiaan, cinta. Sedang mereka yang lain menikah demi memenuhi tuntutan agama. Namun ga sedikit dari mereka yang menikah atas dasar paksaan, kedok, dan sebagainya.
Bagaimana peran suami dalam keluarga?
Seperti yang digambarkan dalam ilustrasi di atas, suami diibaratkan sebagai seorang pilot. Tugas pilot di dalam dunia penerbangan adalah menerbangkan pesawat, mengevaluasi keadaan beberapa bagian pesawat dalam keadaan baik selagi di udara, memastikan bahwa perjalanan aman tanpa gangguan dari luar, membuat keputusan apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan selama perjalanan, dan lain sebagainya.
Bagaimana dengan peran istri?
Istri diilustrasikan sebagai wakil pilot. Wakil pilot sendiri bertugas mendukung, membantu serta mengawasi pilot yang sedang bertugas. Wakil pilot harus bisa membantu pilot menerbangkan pesawat, beliau harus bisa menggantikan pilot jika terjadi satu atau lain hal.
Berbicara tentang peran istri, di Indonesia sendiri terjadi pergeseran yg cukup signifikan. Awalnya perempuan dianggap ga perlu mengenyam pendidikan yg tinggi. Perempuan cukup di rumah, mengabdi kepada keluarga, kepada suami. Pasti familiar di telinga kita tentang hal berikut ini: Tugas perempuan itu hanya 3, dapur, sumur, kasur. Jadi, pada masa itu, perempuan cukup bisa memasak di dapur, mencuci pakaian di sumur, dan melayani suami di kasur. Hanya itu.
Pergeseran dimulai dengan munculnya gerakan emansipasi wanita oleh Raden Ajeng Kartini. Beliau mengatakan bahwa seluruh perempuan di Indonesia berhak untuk mendapatkan pendidikan sebagaimana laki-laki.
Jadi, sejak Ibu Kartini mencetuskan emansipasi wanita, terjadilah perubahan peran istri di dalam mahligai rumah tangga. Dengan mengenyam pendidikan yang layak, wanita Indonesia diharapkan mampu mencetak penerus bangsa yang cerdas.
Suami ga lagi dianggap sebagai satu-satunya tulang punggung keluarga, pencari nafkah. Istri bisa mendukung suami, membantu memperoleh tambahan rejeki agar bisa memperbaiki keadaan keluarga dari segi finansial.
Itu awalnya, dan kemudian masalah pun muncul. Istri mulai kehilangan rasa hormat, rasa patuh terhadap suami. Istri menuntut kebebasan, mengabaikan tugas sejatinya sebagai seorang istri. Istri mulai sibuk di luar rumah, menelantarkan suami, anak, dan rumahnya dengan alasan bekerja.
Lantas bagaimana pendapat suami tentang peran istri di keluarga?
(Ingat peringatan di awal tulisan)
Jadi, menurut Penulis yang notabene laki-laki, yang nantinya bisa jadi suami, peran istri di keluarga cukup fleksibel.
Fleksibel bagaimana yang dimaksud?
Penulis, misalkan menjadi seorang suami, akan mengizinkan istri untuk bekerja, tapi hanya terbatas untuk beberapa profesi saja, guru misalnya.
Kenapa seperti itu?
Karena engga seperti ini... ahahahaha
Penulis mau istri itu bekerja hanya sejak pagi hingga siang. Istri boleh keluar rumah setelah melakukan kewajibannya terhadap suami dan anaknya, seperti menyiapkan sarapan atau peralatan yang akan dibawa bekerja atau ke sekolah. Nah, siang hari, batas paling lama jam dua siang, istri harus sudah ada di rumah, menyambut anak yang pulang dari sekolah. Meskipun di rumah ada asisten rumah tangga, alangkah baiknya jika tugas krusial tetap dipegang oleh istri. Jangan sampai anak lebih manja, lebih akrab dengan asisten rumah tangga ketimbang dengan ibu sendiri.
Intinya adalah, Penulis memberi kebebasan bersyarat kepada istri. Istri boleh bekerja, boleh bersosialisasi dengan sejawatnya, tapi istri harus tetap ingat tanggungjawabnya.
Sedangkan jika Penulis memosisikan diri sebagai istri, Penulis akan melihat kondisi finansial keluarga. Jika pendapatan suami lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Penulis ga akan celamitan minta diizinkan bekerja di luar. Penulis akan di rumah aja, membantu asisten rumah tangga, sesekali keluar untuk bersosialisasi dengan tetangga ataupun teman saat sekolah atau kuliah.
Sia-sia dong ilmu yang udah diperoleh selama ini?
Engga. Ilmunya bisa diteruskan, diterapkan ke anak, ke keluarga. Jadi ilmunya ga sia-sia.
Nah, jika keadaan finansial keluarga kurang baik atau kurang mencukupi, Penulis akan memilih pekerjaan yang waktunya fleksibel, seperti membuka toko kelontong, atau yang lebih keren, membuka usaha butik untuk ibu-ibu chantyiq (baca: shyantikk). Atau guru TK dan SD yang tengah hari udah pulang. Gimana, ya, jeung, suami ama anak, kan tanggungjawabnya eke, jadi, ya, eke harus tau diri juga, kan, cyin? Yuk, mari.
Tapi dari dalam lubuk hati eke sendiri, eke sih maunya bebas, kerja dari pagi sampai sore, haha hihi ama ibu-ibu sosialita, plesir kesana kemari. Toh, ada ART, kan, udah digaji juga. Tapi masa eke masih harus ngurus rumah lagi sih?
Cuma, ya, gitu, deh, balik lagi ke tanggungjawabnya eke sebagai istri. Kalau ga dilaksanakan dosa, cyin, masuk neraka eke, gosong. Sia-sia dong eke luluran dua hari sekali kalau gosong juga.
Balik lagi ke Penulis versi asli, jadi kesimpulan yang bisa Penulis ambil dari pembahasan kita kali ini itu ada dua, ingat waktu dan tau diri. Silakan dimaknai dari sudut pandang masing-masing.
Kamu ga setuju sama pendapat Penulis? Ngajak duel? Ya, mari, sini, di kolom komentar. Penulis jabanin deh situ situ pada.