Langit baru
berhenti menurunkan hujannya beberapa menit lalu, menjadi penyebab lembab dan
dinginnya udara malam ini. Daun tanaman hias yang aku letakkan di balkon ini
pun masih basah. Selain lembab dan dingin, hujan juga bertanggungjawab atas
kesunyian ini. Mereka memilih bergelung dengan selimut lebih cepat, menyisakan
aku sendirian di balkon lantai 12 di mana flatku berada.
Gumpalan
asap menemani kesunyianku, tentu saja itu aku yang mengepulkan. Tiga puntung
sigaret tergeletak tak beraturan di atas wadah plastik yang sudah berlubang di
beberapa bagian, saksi kemarahanku yang kulampiaskan pada puntung-puntung tak
berdosa itu. Ini batang keempat, namun tak ada niatan untuk berhenti. Aku masih
ingin membiarkan nikotin dan kawan-kawannya melegakan sedikit beban pikiranku
malam ini.
Ponselku
bergetar, layarnya berkedip beberapa kali, menandakan satu pesan singkat masuk.
Itu pasti dari Ayah. Ini pesan ke-73 yang dikirimkannya hari ini. Jangan lupa
54 panggilan yang sengaja tak ku respon sama sekali. Aku tau pasti apa yang
ingin disampaikan si keparat itu. Keparat? Iya, Ayahku memang keparat. Tujuh
tahun berlalu sejak Ayah bercerai dengan Ibuk. Dan setelahnya aku tak tau, tak
mau tau lebih tepatnya, di mana keberadaannya. Sampai dua hari yang lalu, entah
bagaimana caranya, dia kembali hadir dalam wujud puluhan panggilan dan pesan
yang memuakkan, dia mengaku kalau telah ditipu oleh wanitanya, entah yang kelima
atau keenam, aku tak ambil pusing. Dia memohon agar aku bersedia menampungnya.
Aku menolak tentu saja. Siapa dia? Hanya pendonor sperma di rahim Ibuk.
Selebihnya, dia bukan siapa-siapa.
Ponselku
bergetar lagi, kali ini agak lama, panggilan dari Mbak Nilam. Ku tekan tombol
hijau, kemudian meletakkan si biru mungil ini di dekat telingaku.
“Ya, Mbak,
ada apa?”
“Waalaikumusalam,”
aku mendengus kesal mendengar sahutan di seberang sana, “Apa kabar, kamu, Ham?”
“Baik, Mbak.
Mbak dan yang lainnya gimana? Baik, kan?”
“Alhamdulillah,
kami semua sehat. Ham, ada yang mau Mbak tanya ke kamu…”
“Apa itu,
Mbak?”
“Ayah ada
ngubungin kamu?”
Aku menghela
napas, “Ada, Mbak. Puluhan kali. Aku sampai muak. HP-ku hampir mati ini karena
ditelpon terus.”
“Kamu
angkat?”
“Dua hari
yang lalu. Soalnya Ayah pakai nomor baru. Ayah sempat ngomong juga sekitar dua
menit. Tapi abis itu aku putus. Dia mau numpang di rumahku. Aku ya ogah, tho,
Mbak.”
“Lha, sama.
Mbak sama Mas Aryo-mu juga bolak-balik ditelpon. Kami sampai harus matiin HP
biar Ibuk nggak curiga.” Mbak Nilam agak berbisik.
“Loh, Ibuk
nggak tau?”
“Nggak. Ih,
buat apa dikasih tau. Kita kan udah sepakat untuk jauhin Ayah sama Ibuk. Lagian
Ibuk sekarang udah seneng. Kamu aja yang nggak pulang-pulang. Kapan tho kamu
balik? Kamu nggak mau liat Dimas? Keponakanmu ini kangen, lho. Si Anti juga
udah bisa jalan sekarang.”
“Mbak tau,
kan, kenapa aku nggak mau pulang?!”
“Iya, tapi
masa’ sampai dua tahun, lho. Perasaan dulu dua bulan sekali kamu pulang.”
“Liat entar,
deh, Mbak. Aku bosen dijodoh-jodohin terus sama Ibuk. Aku bukannya nggak laku,
tapi aku belum siap, Mbak. Aku belum bisa lupa sama Ratna.”
“Oalah,
perempuan sundal kaya dia kok kamu pikirin terus, tho? Yowes lah. Kamu
baik-baik di situ. Inget rumah.”
“Injih,
Mbak. Mbak sama yang lainnya juga baik-baik di situ. Usahakan Ibuk jangan
sampai tau kalau Ayah ngubungin kita.”
“Iya,
wassalamualaikum.”
“Yaa…”
Kuputuskan
sambungan telepon kami. Pandanganku kembali terarah ke langit malam yang
terlihat makin cerah. Satu per satu kelip bintang bermunculan. Kuisap lagi
sigaretku yang tinggal separuh batang. Rasanya cukup untuk malam ini. Waktunya
aku kembali ke peraduan.
Aku masuk ke
kamar dan menutup pintu kaca balkon. Ada seseorang di ranjangku. Dia sudah
terlelap sejak sebelum hujan tadi. Tubuh mungilnya hampir tenggelam oleh
selimut tebalku. Kusingkirkan beberapa anak rambut di dahinya, memberi kecupan
di sana. Kusingkap sedikit selimut, kemudian masuk, memosisikan tubuhku di
sebelahnya yang tidur membelakangiku. Tak lama kemudian, tubuhnya telah masuk
ke dalam pelukanku. Baiklah, selamat malam dunia!
***
Makan siang
di tengah teriknya sang mentari memang bukan pilihan yang bagus, tapi kalau
dengan berterik ria kamu bisa merasakan menjadi makhluk sosial, aku rasa itu
sebanding. Seperti saat ini, beberapa bulir keringat menghiasi dahiku. Bukan
hanya dahiku, Roni, Sinta, Sarah, dan Koko juga punya hiasan dahi yang sama
tapi kami nggak kelihatan peduli dengan hal itu, sama sekali. Roni terlihat
sibuk dengan mangkok baksonya yang masih mengepulkan uap panas. Sinta dan Koko
sibuk dengan mi super pedas mereka. Sarah? Gadis anggun itu sedang berusaha
menghabiskan porsi kedua makan siangnya, tadi nasi rames, sekarang gado-gado
tanpa kol. Dia tetap anggun walaupun porsi makannya jumbo. Aku sendiri sudah
selesai memindahkan seporsi batagor dan segelas jus jeruk ke dalam perut
rataku.
“Eh, kalian
pada tau enggak, sih? Itu si Lia, istrinya Pak Broto, ketahuan selingkuh, loh!”
Si Sinta buka suara dengan mulut masih berisi mi super pedasnya. Akibatnya
sebagian isi mulutnya terhambur keluar.
“Hush!
Jangan asal ngomong, lho! Lagian itu makan beresin dulu. Liat itu mi kamu
berserak di meja,” Roni menimpali. Yang ditimpali cuma mesem.
“Kamu tau
dari mana, Sin?” Si Koko malah kembali memanaskan kompor. Sinta sudah akan
membuka suara, namun aku meletakkan jariku di bibir, tanda supaya Sinta diam.
“Abisin dulu makanmu kalau mau ngomong, Sin.” Sinta mengangguk malu.
Selesai
makan, Sinta menjelaskan kronologi Pak Broto yang memergoki istrinya yang
tengah tidur di flat salah satu karyawan kantor lain, Ilham. Mendengar nama
Ilham, aku langsung tersentak. Apa mungkin Ilham yang dimaksud adalah Ilham
Hardianto, Mas-ku?
“Kamu kok
kaget gitu, tho, Sal? Kamu kenal sama si Ilham?” tembak Sarah. Aku yang nggak
menyangka akan ditanya seperti itu langsung tergagap, “Eh, eng… enggak, kok.
Aku nggak kenal. Emang kepergok di mana?” tanyaku mengalihkan perhatian mereka
dariku.
“Oh,
kemarin, di flat yang ada di jalan Kartini itu, lho. Tau kan? Jam 11 malam gitu
lah …” Sinta melanjutkan penjelasannya. Aku udah nggak bisa lagi menyerap
informasi apapun darinya. Hayalku melayang ke Mas-ku, Mas Ilham.
Sebenarnya
aku nggak mau pindah ke kota ini. Tapi semenjak Mas Ilham nggak pernah pulang,
Ibuk menyuruhku untuk menyusul Mas Ilham kesini. Aku nggak punya pilihan selain
menuruti kemauan Ibuk. Jadi aku transfer kuliah ke universitas negeri yang ada
di kota ini. Beruntung jadwal kuliahku nggak begitu padat sehingga aku bisa
menyambi dengan bekerja paruh waktu. Dan yang lebih beruntungnya lagi, kantor
tempatku bekerja masih satu gedung dengan kantor Mas Ilham. Hanya saja Ibuk
perpesan agar aku cukup mengawasi Mas Ilham dari jauh.
Alasan Ibuk
menyuruhku mengawasi Mas Ilham adalah karena Ibuk cemas dengan keadaan Mas
Ilham. Sejak tiga tahun yang lalu, saat itu usia Mas Ilham 27 tahun, Ibuk mulai
gencar menjodohkan Mas Ilham dengan kerabat Ibuk. Setiap Mas Ilham pulang,
pasti ada saja wanita yang dikenalkan Ibuk kepadanya. Mungkin lama kelamaan Mas
Ilham bosan juga. Setelah setahun usaha Ibuk menjodohkan Mas Ilham, mereka
bertengkar hebat. Mas Ilham mengaku muak dengan usaha Ibuk, sedangkan Ibuk
bersikeras kalau itu semua untuk kebaikan Mas Ilham. Sampai akhirnya Mas Ilham
memilih pergi dan nggak pulang dua tahun belakangan.
Ibuk cemas,
takut kalau-kalau Mas Ilham nekad atau mengambil jalan lain. Tapi sejauh
pengamatanku, Mas Ilham baik-baik saja. Dia terlihat beberapa kali menggandeng
wanita cantik, sebagian besar merupakan istri orang. Aku tau tapi aku nggak
bisa berbuat banyak. Semenjak Mas Ilham putus hubungan dengan Mbak Ratna yang
kedapatan selingkuh dengan bosnya sendiri sekitar empat tahun lalu, Mas Ilham
berubah. Mas-ku itu nggak lagi menghormati wanita selain Ibuk dan Mbak Nilam.
Udah nggak
terhitung wanita yang pernah mampir ke flatnya, tentu saja hal ini nggak sampai
ke telinga Ibuk. Aku sengaja merahasiakannya. Aku nggak mau Ibuk sedih. Sudah
cukup rasanya dua tahun Ibuk menderita setelah diceraikan Ayah tujuh tahun
lalu. Semenjak saat itu, aku, Mas Aryo, Mbak Nilam, dan Mas Ilham sepakat untuk
menyingkirkan Ayah dari kehidupan Ibuk. Dan syukur alhamdulillah sekarang Ibuk
udah baik-baik aja. Tapi cerita Sinta barusan mau nggak mau menyentil mindaku.
Seperti yang
aku ceritakan sebelumnya, aku udah tau gimana keseharian Mas Ilham di sini. Aku
udah biasa liat dia bawa cewek ke kamar. Tapi nggak pernah sampai ketahuan
pihak keluarganya. Ini kali pertama dan aku beneran cemas dengan keadaan Mas
Ilham sekarang.
Semua isi
piring, mangkok, dan gelas tandas. Udah hampir jam dua juga. Kami memutuskan untuk
menyudahi masa istirahat siang kami. Aku mengeluarkan dompetku, mengecek berapa
sisa uang di dompetku. Tinggal dua lembar warna hijau. Tapi tiba-tiba Koko
menahan tanganku. “Udah, kali ini aku yang bayar,” ujarnya sambil memasang
ekspresi genit di wajahnya. Aku geli, sumpah. Langsung ku keluarkan selembar
hijau dan menyerahkannya ke Sarah. “Nggak usah, Ko. Aku masih punya uang, kok.”
Koko nggak menyahut, hanya mendengus, menunjukkan kekesalannya. Ini bukan kali
pertama Koko mencoba menggodaku, dan sialnya dia bukan laki-laki pertama yang
melakukannya. Di kampus, udah empat kali aku ditembak sama laki-laki, tiga
orang senior dan satu orang junior. Aku geleng-geleng kepala kalau
mengingatnya.
Kami
berjalan beriringan memasuki gedung. Aku berjalan paling belakang, di belakang
Koko dan Roni yang postur tubuhnya jauh lebih tinggi dariku. Roni dan Koko
berhenti mendadak, membuatku yang nggak terlalu konsentrasi menabrak punggung
mereka.
“Eh, itu si
Ilham yang aku ceritain tadi,” Sinta berbisik. Aku mengikuti arah pandang
mereka. Ternyata benar, Ilham yang dimaksud memang Mas Ilham. Dia terlihat
berjalan dengan santainya ke arah lift. Tubuh jangkung kekarnya seperti magnet
yang mampu menarik pandangan setiap orang di sekitarnya. Aku nggak heran,
selain jangkung dan kekar, wajah khas pria Jawa dengan kulit kuning langsat,
pasti mudah mengalihkan perhatian. Matanya teduh, memancarkan ketenangan saat
mata itu menatap. Mata itulah yang menenangkanku selama ini, meringankan
sedikit bebanku. Sebenarnya aku mewarisi sedikit banyak rupa Mas Ilham, hanya
dalam versi yang lebih manis. Tubuhku cukup berisi, tapi nggak kekar. Tinggiku
juga cuma 165 senti. Tapi kemudian aku tersadar. Aku langsung ingat pesan Ibuk,
aku nggak boleh terlihat oleh Mas Ilham.
“Ehm, aku
lewat tangga aja, deh. Perutku kenyang banget ini. Takut gemuk.” Ujarku
beralasan.
“Gemuk?
Plis, deh! Badan kamu itu isinya cuma tulang sama kentut, trus dibalut kulit.
Nggak bakalan gemuk Cuma gara-gara makan batagor seuprit.” cerca Sinta. Aku
hanya membalas dengan cengiran khasku. “Mau aku temenin?” Lagi, si Koko mencoba
PDKT. “Nggak usah, aku sendirian aja. Kamu bareng mereka aja. Jagain si Sinta
jangan sampai ngegosipin Mas Ilham di sebelah orangnya.” tolakku. Sinta melotot
ganas tapi nggak ku gubris. Aku langsung melangkahkan kaki ku ke tangga darurat
di pojok kanan lobi gedung ini.
Aku sampai
di lantai tiga, masih tiga lantai lagi, namun suara seseorang mendeham
menghentikan langkahku. Mas Ilham. Dia berdiri bersandar di pintu darurat.
Kedua tangannya dimasukkan ke saku celananya kanan dan kiri.
“Mau sampai
kapan kamu sembunyi dari Mas-mu, Dik?” Mas Ilham buka suara. Aku menjengit
kaget. “Kamu pikir Mas nggak tau kamu ngikutin Mas terus hampir dua tahun ini?
Siapa yang nyuruh kamu? Ibuk?” Aku mengangguk lemah. Mas Ilham tersenyum manis,
senyum yang selalu ditujukan padaku setiap aku melakukan kesalahan. Dia
merentangkan kedua lengannya, mengundangku untuk masuk ke dalam rengkuhannya.
Aku menyambut. Kutenggelamkan wajahku di dada bidangnya. Tangisku pecah.
“Aku kangen,
Mas. Aku liat Mas hampir setiap hari, tapi nggak bisa mendekat. Ibuk nggak mau
Mas ngerasa diawasi,” Mas Ilham mengelus lembut punggungku, kemudian beralih ke
rambutku. Aku melerai pelukan kami. Mataku dan Mas Ilham langsung tertumbuk ke
satu tempat, kemeja di bagian dada Mas Ilham yang kini basah oleh air mataku.
Aku malu, sumpah. Udah umur segini masih nangis, pakai acara bikin basah kemeja
orang lagi.
“Udah, nggak
usah nangis lagi. Mas juga kangen. Tapi gimana, ya, Mas tau pasti kalau Ibuk
yang nyuruh kamu, makanya Mas nggak mau ngerusak rencana kalian itu. Cuma tadi
sebelum Mas masuk ke lift, Mas liat kamu pasang muka sendu. Mas nggak tahan.
Nggak tega ngeliat Adik kesayangan Mas ini sedih,” Mas Ilham menangkup wajahku
dengan kedua tangan besarnya, ibu jarinya menghapus jejak air mata di kedua
pipiku.
“Hmm, itu.
Tadi temen aku gosipin Mas. Itu bener?” Mas Ilham tersenyum lagi. Dengan lembut
Mas Ilham menjelaskan semuanya. Aku sesekali mengangguk mengerti. Beberapa
menit kemudian Mas Ilham mengakhiri ceritanya. Ternyata aku salah menilai
Mas-ku.
“Ya, udah,
sekarang kamu balik, gih. Naik lift aja. Nanti sore, jam empat, Mas tunggu kamu
di parkiran, ya?” Aku mengangguk. Mas Ilham mengacak rambutku perlahan kemudian
mempersilakanku pergi. Aku memasuki bilik lift, hanya ada beberapa orang di
dalam. Aku mengecek kondisi wajahku melalui refleksi di dinding bilik.
Syukurlah nggak terlalu kentara kalau aku baru aja menangis. Begitu lift tiba
di lantai enam, pintu lift terbuka dan aku keluar menuju kantorku.
***
Suara ketukan
di pintu membuatku terjaga. Ku lirik sekilas jam di atas nakas, 11. Baru satu
jam aku terlelap. Siapa orang kurang kerjaan yang bertamu hampir tengah malam
begini?! Ah! Ketukan sialan di pintu bukannya mereda malah menggila. Mau tak
mau pintu harus ku buka, jika tidak, tetangga akan protes sesegera mungkin.
Kusingkap
selimutku sepelan mungkin, berusaha agar dia tak terbangun. Dengan sangat
perlahan, aku melangkah ke arah pintu depan, siap-siap memaki si manusia tak
tau diri yang mengganggu tidur malamku. Telah kukumpulkan segala macam makian
di kepala, siap untuk keluar sesaat lagi. Begitu pintu terbuka, wajah seram Pak
Broto yang muncul di sana. Hm, harusnya sudah kuduga dia sebelumnya. Aku tak
jadi memuntahkan sumpah serapahku.
Mata Pak
Broto merah, melotot seakan hampir keluar, badannya bergetar, menahan amarah.
Tubuh kerdilnya yang hanya setinggi dadaku menegang. Aku hanya tersenyum
melihat sosoknya. Ngomong-ngomong, Pak Broto ini adalah bos di salah satu
kantor di gedung yang sama dengan kantorku, sekaligus suami dari si mungil yang
sedang terlelap di ranjangku.
“Ada yang
bisa saya bantu, Pak Broto?” tanyaku sembari memberikan senyum termanisku.
“Nggak usah
sok manis! Aku tau Lia di sini!” suara Pak Broto menggelegar.
“Oh, Bapak
cari Lia, tho. Dia ada di kamar saya. Lagi tidur, mungkin kelelahan,” aku
menggantung, kutundukkan tubuhku agar bibirku mendekat ke telinga paruh baya
ini, “setelah tadi saya bantu ‘meringankan’ bebannya,” bisikku. Mendengar itu,
kontan satu tinju melayang ke arah wajahku, tapi dengan mudah ku tepis. Kesal
karena tinjunya tak jadi menyentuhku, Pak Broto mendorong tubuhku hingga
terhuyung ke belakang. “Kamarnya itu, Pak, yang warna biru gelap,” ujarku
sambil menunjuk ke arah pintu kamarku. Pak Broto mendengus, dengan sengaja menghentakkan
kakinya keras ia berjalan ke arah pintu. Pintu kamar dibukanya, menampilkan Lia
yang tidur nyenyak di balik selimut tebalku.
“Dasar istri
kurang ajar!” teriak Pak Broto begitu tiba di sisi ranjang. Lia, sang istri,
terkejut mendengar teriakan suaminya. Tapi bukannya bertingkah seperti maling
yang ketahuan mencuri, Lia malah terlihat seperti orang yang memergoki maling
yang sedang mencuri.
“Oh, jadi
Mas udah datang? Saya tunggu dari tadi sampai ketiduran di sini. Udah selesai
‘bobo enak’-nya sama si Tiara? Atau hari ini giliran Sandra? Atau Jihan?” cecar
Lia. Pak Broto kaget, tubuhnya agak mundur ke belakang.
“Apa maksud
kamu?!” teriaknya tak mau kalah.
“Udah, lah,
Mas, ga usah pura-pura. Aku udah tau gimana tingkahmu di luar. Aku liat sendiri
Mas check-in di hotel bareng Tiara. Ngapain coba? Belajar ngaji? Atau
main monopoli? Di hotel gitu? Apa aku kurang cantik, Mas?” Lia mulai bergetar.
Air matanya menggenang, bersiap untuk jatuh. Aku bosan dengan drama keluarga
seperti ini. Aku memutuskan kembali ke ruang tamu, menunggu mereka selesai
bertengkar. Beberapa menit kemudian mereka keluar. Ku lihat Lia tersenyum
manis, malah Pak Broto yang terlihat seperti baru menangis. Pak Broto
berkali-kali meminta maaf, sedangkan Lia berterimakasih berulang-ulang.
Setelahnya mereka pergi dari flatku. Keluarga kesekian yang aku selamatkan dari
perceraian. Suasana kembali sepi. Lebih baik aku melanjutkan tidurku yang sempat terganggu tadi. Saat
akan menutup pintu, ku lihat beberapa orang tetangga berbisik-bisik di depan
pintu kamar mereka. Ah, pasti besok ini jadi gosip panas. Biarlah mereka
berkata apa. Yang penting sekarang aku mau mengistirahatkan tubuhku.
***
Aku berjalan
tergesa-gesa ke arah lift. Ini udah jam setengah lima. Aku terlambat setengah
jam dari waktu yang udah kami sepekati. Bukan sepenuhnya salahku. Tadi sebelum
aku pulang, Koko lagi-lagi menggodaku, kali ini malah parah, dia mencoba
memelukku dari belakang. Langsung aku dorong. Sayangnya dia menyenggol gelas
berisi kopi milik Sutan di atas meja kerjanya. Gelas jatuh dan pecah
berhamburan. Terpaksa aku bertanggungjawab membersihkannya. Koko sendiri bertanggungjawab
dengan mengganti gelas Sutan itu karena katanya itu gelas kesayangannya. Untung
aja Bu Dona, sekretaris Bos Bian, Bosku, nggak liat insiden ini. Kalau dia
liat, pasti udah diperkarakan.
Aku sampai
di parkiran lantai dasar. Mas Ilham udah menunggu sambil merokok di sisi
mobilnya. Begitu melihatku, dia berjalan ke arah tempat sampah yang berada nggak
jauh dari tempat dia berdiri dan membuang batang rokok yang kulihat masih cukup
panjang. Mungkin itu batang keduanya. Mas Ilham memang nggak mau merokok di
dekatku karena Mas-ku itu tau aku benci rokok.
“Kok lama,
tho, Dik?” tanyanya begitu aku tiba di hadapannya.
“Punten,
Mas. Ada masalah tadi di kantor,” sahut pelan.
“Yowes. Yuk
lah kita langsung berangkat.” Mas Ilham membukakan pintu mobil untukku,
kemudian berjalan memutar ke sisi kemudi mobil.
“Mau kemana
kita, Mas?” tanyaku begitu kami berdua udah di dalam. “Ikut aja. Mas nggak akan
bawa kamu ke tempat yang macem-macem kok.” Aku mengangguk. Setelahnya kebisuan
menguasai kami. Nggak sepenuhnya bisu, karena lagu Sego Liwet yang dikumandangkan
indah oleh Mbakyu Waljinah, memenuhi kekosongan kami. Selanjutnya Mbakyu
Waljinah dan Almarhum Gesang dengan lagu Pandan Wanginya yang menggelitik
telingaku. Suasana tenang, ditemani tembang keroncong seperti ini melemparkanku
ke memori bertahun-tahun silam, saat Ayah dan Ibuk masih baik-baik aja. Saat
riangnya aku bercanda dengan mereka di atas becak dayung menyusuri jalanan kota
setiap sabtu malam. Tanpa sadar mobil telah berhenti di pelataran kost-ku.
“Ngapain ke sini, Mas?” tanyaku.
“Kamu masuk sana, ambil
barang-barangmu. Mulai hari ini kamu tinggal sama Mas aja,” Mas Ilhal menyahut
santai.
“Tapi, Mas… Ibuk…”
“Udah, tenang aja. Kamu nggak usah
bilang-bilang kalau kamu tinggal sama Mas. Udah, buruan sana. Keburu gelap ini.”
Aku menurut, bergegas keluar dari mobil kemudian setengah berlari menuju ke
kamarku di lantai dua. Beruntung aku mendapat indekost yang udah menyediakan
perabotan di dalamnya. Jadi barang bawaanku nggak terlalu banyak. Hanya satu
koper berukuran sedang berisi pakaian dan akuarium kecil berisi ikan mas koki
yang kunamai Paijo, nama guru favoritku waktu SMP dulu.
Koper udah tersimpan rapi di bagasi,
Paijo juga udah anteng di dalam akuarium bola di pangkuanku. Mas Ilham mulai
mengemudikan mobilnya. Jarak dari kost-ku ke flat milik Mas Ilham nggak begitu
jauh. Sekitar 20 menit, itupun kalau jalanan macet. Dan lagi-lagi, keheningan kembali
menguasai kami, kali ini tanpa alunan musik keroncong. Karena bosan, kunyalakan
lagi pemutar musik, kali ini Mas Didi Kempot yang bersuara, dan kami berdua menikmatinya
dalam diam.