Tuesday, September 19, 2017

Pendidikan di Indonesia, Murah atau Mahal sih?


Halo-halo!
Penulis balik lagi! Kali ini mau cerita tentang dunia pendidikan, lagi. Tapi ini beda pembahasan kok. Kalau di topik sebelumnya Penulis membahas tentang hal-hal yang ngga boleh dilakukan guru di sekolah, di postingan ini Penulis mau membahas topik dari si Trias tentang biaya pendidikan di Indonesia, apakah murah atau mahal. Uuuuuuuh! Masalah uang! Cus masuk ke pembahasan!

Sekolah di Indonesia, Murah atau Mahal?

Kalau dalam percakapan sehari-hari, pasti kamu sering dengar pernyataan seperti ini, “Ngga ada yang gratis di dunia ini, bahkan mau pipis pun bayar.” Pernah dengar dong, ya? Iya, pernyataan itu bisa jadi benar, bisa jadi salah. Masih ada kok yang gratis, tapi ngga sedikit yang serba bayar, termasuk pendidikan. Nah, pertanyaannya adalah, apakah untuk bersekolah di Indonesia itu butuh biaya besar? Untuk menjawab pertanyaan ini, Penulis menjadikan pengalaman Penulis sendiri sebagai dasar.

Ilustrasi Keadaan Kelas TK
www.sinarharapan.co
Apakah bersekolah di Indonesia butuh banyak biaya? Jawabannya adalah tergantung di mana kamu bersekolah. Penulis memulai pendidikan di bangku taman kanak-kanak (TK) di pertengahan tahun 1999. TK tempat Penulis bersekolah adalah TK yang berada di bawah naungan yayasan swasta. Apakah biaya yang dikeluarkan orang tua Penulis cukup banyak? Penulis belum begitu mengerti tentang biaya saat itu. Tapi bisa Penulis perkirakan bahwa biaya yang keluar untuk bersekolah di TK saat itu masih cukup terjangkau. Empat tahun kemudian, adik perempuan Penulis mulai bersekolah di sekolah setingkat TK tapi versi islam dengan sebutan RA (Raudatul Athfal) dan statusnya juga sekolah swasta. Apa butuh biaya besar? Lagi-lagi, engga. Untuk pendaftaran awal, biaya yang dikeluarkan ngga sampai 500 ribu. Uang bulanannya juga ngga mencapai angka 100 ribu.

Tapi ingat, ini pengalaman Penulis dan adik yang sekolah TK-nya ada di kota kecamatan. Bagaimana kalau di kota besar? Nah, kalau di kota besar, untuk tingkat TK, di awal pendaftaran, setidaknya orang tua harus mengeluarkan biaya 1-3 juta. Dan untuk uang bulanannya sekitar 100-300 ribu. Itu di sekolah yang biasa aja, lho ya?! Kalau di sekolah bonafit, pasti lebih mahal dari itu.

Beranjak ke tingkat SD, Penulis bersekolah di SD Negeri. Seingat Penulis, orang tua Penulis ngga mengeluarkan biaya yang banyak ke pihak sekolah, soalnya ada program Wajib Belajar 9 Tahun. Jadi uang sekolah gratis, buku paket juga dipinjamkan. Orang tua Penulis hanya membayar kebutuhan tambahan seperti untuk baju olahraga dan ujian praktik, selebihnya gratis.

Wajib Belajar 9 Tahun
radarsuperindo.wordpress.com
Lagi-lagi, kondisi di atas berlaku di tempat tinggal Penulis. Kalau di kota, ini berdasarkan pengalaman adik sepupu, di awal, biaya yang harus dibayarkan sekitar 3-6 juta, itu sudah termasuk beberapa pasang seragam. Uang bulanannya masih dalam hitungan ratusan ribu.

Masuk ke SMP, Penulis juga masih bersekolah di sekolah negeri. Masih karena program Wajib Belajar 9 Tahun, biaya sekolah Penulis juga hampir gratis, hanya beberapa puluh ribuan sebulan untuk membayar komputer setiap bulan dan baju olahraga yang dibayar waktu kelas 7. Buku paket juga masih dipinjamkan oleh pihak sekolah. Tapi menjelang akhir masa SMP, tepatnya semester kedua kelas 9, ada les tambahan di sekolah untuk persiapan menghadapi ujian nasional dengan biaya 150 ribu untuk 3 bulan. Oh, iya, hampir lupa. Karena Penulis masuk di kelas unggulan, ada biaya tambahan sebesar 120 ribu untuk seragam khusus yang dikenakan pada hari senin-kamis. Berbeda dengan Penulis yang bersekolah di SMP Negeri, adik Penulis melanjutkan sekolah menengahnya ke pondok pesantren swasta. Walaupun swasta, biaya yang dikeluarkan orang tua juga masih terjangkau. Uang sekolah sekitar 1,2 juta (Penulis lupa apakah ini pertahun atau persemester) yang pembayarannya bisa dicicil dan uang bulanan senilai 400 ribu, sudah termasuk biaya pemondokan dan konsumsi.

Di bangku SMA, lagi-lagi Penulis bersekolah di sekolah negeri. Waktu itu program Wajib Belajar 12 Tahun belum dicanangkan, jadi setiap bulan ada uang SPP yang harus dibayar sekitar 50 ribu. Buku paket juga dibeli untuk pribadi dengan biaya sekitar 500 ribu pertahun. Ditambah baju olahraga di kelas 10. Di semester kedua kelas 12, Penulis juga diberi les tambahan dengan biaya (kalau Penulis ngga salah) 300 ribu untuk 3 bulan. Adik Penulis sendiri masih sama dengan SMP karena dia melanjut ke Aliyah di pondok pesantren yang sama.

Ilustrasi Suasana Ujian SNMPTN
www.indowarta.com
Pada tahun 2012 Penulis menyelesaikan studi di SMA dan berencana melanjutkan ke perguruan tinggi negeri melalui seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Biaya yang dikeluarkan untuk pendaftaran (SNMPTN) jalur ujian tulis saat itu hanya 175 ribu. Alhamdulillah, Penulis diterima di salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) di Kota Medan. Untuk pendaftaran ulang, orang tua Penulis harus merogoh kocek sebanyak sekitar 2,3 juta dengan rincian uang pembangunan, SPP semester satu, dan jaket almamater. Uang SPP persemester untuk semester dua dan selanjutnya sebesar 725 ribu. Tapi Penulis merupakan stambuk terakhir yang masih memakai biaya segitu. Untuk stabuk setelah Penulis diberlakukan sistem uang kuliah tunggal (UKT) yang biaya SPP persemesternya tergantung dari penghasilan dan tanggungan orang tua masing-masing mahasiswa. Rentang biayanya mulai 500 ribu hingga 1,5 juta. Nominal ini setiap tahun naik, ngga tau untuk stambuk 2017 berapa rentang biayanya.

Bagaimana dengan adik Penulis? Alhamdulillah, pada tahun 2016 kemarin dia juga diterima di salah PTN islam di Kota Medan. Karena udah berlaku sistem UKT, jadi ngga ada yang namanya uang pembangunan di awal. Orang tua Penulis hanya harus membayar SPP senilai 2 juta yang kini naik menjadi 2,1 juta persemesternya.

Gedung Pascasarjana
www.uns.ac.id
Akhir tahun 2016, Penulis menamatkan studi S1 dan mendapat gelas sarjana. Setelah memikirkan berbagai pertimbangan, Penulis memutuskan untuk melanjutkan studi ke tingkat magister di salah satu PTN di Pulau Jawa. Butuh biaya sebesar 400 ribu untuk pendaftarannya. Nominal ini termasuk yang paling murah, karena di beberapa universitar negeri lain, biaya pendaftaran berkisar 500-750 ribu untuk jenjang magister. Alhamdulillah Penulis lulus seleksi. Di universitas ini juga berlaku sistem UKT. Hanya saja nominalnya tidak ditentukan oleh penghasilan dan tanggungan orang tua, melainkan jurusan magisternya. Jurusan yang Penulis ambil termasuk jurusan dengan nominal UKT terendah, yakni 6,5 juta, sedangkan nominal UKT tertinggi senilai 10,9 juta. Dibandingkan dengan universitas negeri lain di Indonesia, UKT di universitas ini juga termasuk yang termurah. Di universitas negeri yang lain, bilangan UKT mulai dari angka 5 juta hingga belasan juta, tergantung jurusannya.

Nah, jadi itu gambaran biaya pendidikan menurut pengalaman Penulis sendiri. Menurut kamu, jumlah segitu termasuk kategori murah atau mahal? Kalau Penulis pribadi sih jumlah segitu murah, karena teman-teman Penulis yang lain, biaya sekolahnya lebih mahal, hehehe…

Gimana, gimana, murah atau mahal? Kasih pendapat kamu di kolom komentar ya?!

Tentang Moody

Halo pembaca kece! Di postingan kali ini, aku ditantang sama Kak Rina untuk menceritakan tentang tanggapanku terhadap seseorang yang mo...