Thursday, May 11, 2017

New Beceletsss Project #1: Merantau

            Langit baru berhenti menurunkan hujannya beberapa menit lalu, menjadi penyebab lembab dan dinginnya udara malam ini. Daun tanaman hias yang aku letakkan di balkon ini pun masih basah. Selain lembab dan dingin, hujan juga bertanggungjawab atas kesunyian ini. Mereka memilih bergelung dengan selimut lebih cepat, menyisakan aku sendirian di balkon lantai 12 di mana flatku berada.

            Gumpalan asap menemani kesunyianku, tentu saja itu aku yang mengepulkan. Tiga puntung sigaret tergeletak tak beraturan di atas wadah plastik yang sudah berlubang di beberapa bagian, saksi kemarahanku yang kulampiaskan pada puntung-puntung tak berdosa itu. Ini batang keempat, namun tak ada niatan untuk berhenti. Aku masih ingin membiarkan nikotin dan kawan-kawannya melegakan sedikit beban pikiranku malam ini.

            Ponselku bergetar, layarnya berkedip beberapa kali, menandakan satu pesan singkat masuk. Itu pasti dari Ayah. Ini pesan ke-73 yang dikirimkannya hari ini. Jangan lupa 54 panggilan yang sengaja tak ku respon sama sekali. Aku tau pasti apa yang ingin disampaikan si keparat itu. Keparat? Iya, Ayahku memang keparat. Tujuh tahun berlalu sejak Ayah bercerai dengan Ibuk. Dan setelahnya aku tak tau, tak mau tau lebih tepatnya, di mana keberadaannya. Sampai dua hari yang lalu, entah bagaimana caranya, dia kembali hadir dalam wujud puluhan panggilan dan pesan yang memuakkan, dia mengaku kalau telah ditipu oleh wanitanya, entah yang kelima atau keenam, aku tak ambil pusing. Dia memohon agar aku bersedia menampungnya. Aku menolak tentu saja. Siapa dia? Hanya pendonor sperma di rahim Ibuk. Selebihnya, dia bukan siapa-siapa.

            Ponselku bergetar lagi, kali ini agak lama, panggilan dari Mbak Nilam. Ku tekan tombol hijau, kemudian meletakkan si biru mungil ini di dekat telingaku.

            “Ya, Mbak, ada apa?”

            “Waalaikumusalam,” aku mendengus kesal mendengar sahutan di seberang sana, “Apa kabar, kamu, Ham?”

            “Baik, Mbak. Mbak dan yang lainnya gimana? Baik, kan?”

            “Alhamdulillah, kami semua sehat. Ham, ada yang mau Mbak tanya ke kamu…”

            “Apa itu, Mbak?”

            “Ayah ada ngubungin kamu?”

            Aku menghela napas, “Ada, Mbak. Puluhan kali. Aku sampai muak. HP-ku hampir mati ini karena ditelpon terus.”

            “Kamu angkat?”

            “Dua hari yang lalu. Soalnya Ayah pakai nomor baru. Ayah sempat ngomong juga sekitar dua menit. Tapi abis itu aku putus. Dia mau numpang di rumahku. Aku ya ogah, tho, Mbak.”

            “Lha, sama. Mbak sama Mas Aryo-mu juga bolak-balik ditelpon. Kami sampai harus matiin HP biar Ibuk nggak curiga.” Mbak Nilam agak berbisik.

            “Loh, Ibuk nggak tau?”

            “Nggak. Ih, buat apa dikasih tau. Kita kan udah sepakat untuk jauhin Ayah sama Ibuk. Lagian Ibuk sekarang udah seneng. Kamu aja yang nggak pulang-pulang. Kapan tho kamu balik? Kamu nggak mau liat Dimas? Keponakanmu ini kangen, lho. Si Anti juga udah bisa jalan sekarang.”

            “Mbak tau, kan, kenapa aku nggak mau pulang?!”

            “Iya, tapi masa’ sampai dua tahun, lho. Perasaan dulu dua bulan sekali kamu pulang.”

          “Liat entar, deh, Mbak. Aku bosen dijodoh-jodohin terus sama Ibuk. Aku bukannya nggak laku, tapi aku belum siap, Mbak. Aku belum bisa lupa sama Ratna.”
  
           “Oalah, perempuan sundal kaya dia kok kamu pikirin terus, tho? Yowes lah. Kamu baik-baik di situ. Inget rumah.”

           “Injih, Mbak. Mbak sama yang lainnya juga baik-baik di situ. Usahakan Ibuk jangan sampai tau kalau Ayah ngubungin kita.”

            “Iya, wassalamualaikum.”

            “Yaa…”

            Kuputuskan sambungan telepon kami. Pandanganku kembali terarah ke langit malam yang terlihat makin cerah. Satu per satu kelip bintang bermunculan. Kuisap lagi sigaretku yang tinggal separuh batang. Rasanya cukup untuk malam ini. Waktunya aku kembali ke peraduan.

            Aku masuk ke kamar dan menutup pintu kaca balkon. Ada seseorang di ranjangku. Dia sudah terlelap sejak sebelum hujan tadi. Tubuh mungilnya hampir tenggelam oleh selimut tebalku. Kusingkirkan beberapa anak rambut di dahinya, memberi kecupan di sana. Kusingkap sedikit selimut, kemudian masuk, memosisikan tubuhku di sebelahnya yang tidur membelakangiku. Tak lama kemudian, tubuhnya telah masuk ke dalam pelukanku. Baiklah, selamat malam dunia!

***

            Makan siang di tengah teriknya sang mentari memang bukan pilihan yang bagus, tapi kalau dengan berterik ria kamu bisa merasakan menjadi makhluk sosial, aku rasa itu sebanding. Seperti saat ini, beberapa bulir keringat menghiasi dahiku. Bukan hanya dahiku, Roni, Sinta, Sarah, dan Koko juga punya hiasan dahi yang sama tapi kami nggak kelihatan peduli dengan hal itu, sama sekali. Roni terlihat sibuk dengan mangkok baksonya yang masih mengepulkan uap panas. Sinta dan Koko sibuk dengan mi super pedas mereka. Sarah? Gadis anggun itu sedang berusaha menghabiskan porsi kedua makan siangnya, tadi nasi rames, sekarang gado-gado tanpa kol. Dia tetap anggun walaupun porsi makannya jumbo. Aku sendiri sudah selesai memindahkan seporsi batagor dan segelas jus jeruk ke dalam perut rataku.

            “Eh, kalian pada tau enggak, sih? Itu si Lia, istrinya Pak Broto, ketahuan selingkuh, loh!” Si Sinta buka suara dengan mulut masih berisi mi super pedasnya. Akibatnya sebagian isi mulutnya terhambur keluar.

            “Hush! Jangan asal ngomong, lho! Lagian itu makan beresin dulu. Liat itu mi kamu berserak di meja,” Roni menimpali. Yang ditimpali cuma mesem.

            “Kamu tau dari mana, Sin?” Si Koko malah kembali memanaskan kompor. Sinta sudah akan membuka suara, namun aku meletakkan jariku di bibir, tanda supaya Sinta diam. “Abisin dulu makanmu kalau mau ngomong, Sin.” Sinta mengangguk malu.

            Selesai makan, Sinta menjelaskan kronologi Pak Broto yang memergoki istrinya yang tengah tidur di flat salah satu karyawan kantor lain, Ilham. Mendengar nama Ilham, aku langsung tersentak. Apa mungkin Ilham yang dimaksud adalah Ilham Hardianto, Mas-ku?

            “Kamu kok kaget gitu, tho, Sal? Kamu kenal sama si Ilham?” tembak Sarah. Aku yang nggak menyangka akan ditanya seperti itu langsung tergagap, “Eh, eng… enggak, kok. Aku nggak kenal. Emang kepergok di mana?” tanyaku mengalihkan perhatian mereka dariku.

            “Oh, kemarin, di flat yang ada di jalan Kartini itu, lho. Tau kan? Jam 11 malam gitu lah …” Sinta melanjutkan penjelasannya. Aku udah nggak bisa lagi menyerap informasi apapun darinya. Hayalku melayang ke Mas-ku, Mas Ilham.

            Sebenarnya aku nggak mau pindah ke kota ini. Tapi semenjak Mas Ilham nggak pernah pulang, Ibuk menyuruhku untuk menyusul Mas Ilham kesini. Aku nggak punya pilihan selain menuruti kemauan Ibuk. Jadi aku transfer kuliah ke universitas negeri yang ada di kota ini. Beruntung jadwal kuliahku nggak begitu padat sehingga aku bisa menyambi dengan bekerja paruh waktu. Dan yang lebih beruntungnya lagi, kantor tempatku bekerja masih satu gedung dengan kantor Mas Ilham. Hanya saja Ibuk perpesan agar aku cukup mengawasi Mas Ilham dari jauh.

            Alasan Ibuk menyuruhku mengawasi Mas Ilham adalah karena Ibuk cemas dengan keadaan Mas Ilham. Sejak tiga tahun yang lalu, saat itu usia Mas Ilham 27 tahun, Ibuk mulai gencar menjodohkan Mas Ilham dengan kerabat Ibuk. Setiap Mas Ilham pulang, pasti ada saja wanita yang dikenalkan Ibuk kepadanya. Mungkin lama kelamaan Mas Ilham bosan juga. Setelah setahun usaha Ibuk menjodohkan Mas Ilham, mereka bertengkar hebat. Mas Ilham mengaku muak dengan usaha Ibuk, sedangkan Ibuk bersikeras kalau itu semua untuk kebaikan Mas Ilham. Sampai akhirnya Mas Ilham memilih pergi dan nggak pulang dua tahun belakangan.

            Ibuk cemas, takut kalau-kalau Mas Ilham nekad atau mengambil jalan lain. Tapi sejauh pengamatanku, Mas Ilham baik-baik saja. Dia terlihat beberapa kali menggandeng wanita cantik, sebagian besar merupakan istri orang. Aku tau tapi aku nggak bisa berbuat banyak. Semenjak Mas Ilham putus hubungan dengan Mbak Ratna yang kedapatan selingkuh dengan bosnya sendiri sekitar empat tahun lalu, Mas Ilham berubah. Mas-ku itu nggak lagi menghormati wanita selain Ibuk dan Mbak Nilam.

            Udah nggak terhitung wanita yang pernah mampir ke flatnya, tentu saja hal ini nggak sampai ke telinga Ibuk. Aku sengaja merahasiakannya. Aku nggak mau Ibuk sedih. Sudah cukup rasanya dua tahun Ibuk menderita setelah diceraikan Ayah tujuh tahun lalu. Semenjak saat itu, aku, Mas Aryo, Mbak Nilam, dan Mas Ilham sepakat untuk menyingkirkan Ayah dari kehidupan Ibuk. Dan syukur alhamdulillah sekarang Ibuk udah baik-baik aja. Tapi cerita Sinta barusan mau nggak mau menyentil mindaku.

            Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, aku udah tau gimana keseharian Mas Ilham di sini. Aku udah biasa liat dia bawa cewek ke kamar. Tapi nggak pernah sampai ketahuan pihak keluarganya. Ini kali pertama dan aku beneran cemas dengan keadaan Mas Ilham sekarang.

            Semua isi piring, mangkok, dan gelas tandas. Udah hampir jam dua juga. Kami memutuskan untuk menyudahi masa istirahat siang kami. Aku mengeluarkan dompetku, mengecek berapa sisa uang di dompetku. Tinggal dua lembar warna hijau. Tapi tiba-tiba Koko menahan tanganku. “Udah, kali ini aku yang bayar,” ujarnya sambil memasang ekspresi genit di wajahnya. Aku geli, sumpah. Langsung ku keluarkan selembar hijau dan menyerahkannya ke Sarah. “Nggak usah, Ko. Aku masih punya uang, kok.” Koko nggak menyahut, hanya mendengus, menunjukkan kekesalannya. Ini bukan kali pertama Koko mencoba menggodaku, dan sialnya dia bukan laki-laki pertama yang melakukannya. Di kampus, udah empat kali aku ditembak sama laki-laki, tiga orang senior dan satu orang junior. Aku geleng-geleng kepala kalau mengingatnya.

            Kami berjalan beriringan memasuki gedung. Aku berjalan paling belakang, di belakang Koko dan Roni yang postur tubuhnya jauh lebih tinggi dariku. Roni dan Koko berhenti mendadak, membuatku yang nggak terlalu konsentrasi menabrak punggung mereka.

            “Eh, itu si Ilham yang aku ceritain tadi,” Sinta berbisik. Aku mengikuti arah pandang mereka. Ternyata benar, Ilham yang dimaksud memang Mas Ilham. Dia terlihat berjalan dengan santainya ke arah lift. Tubuh jangkung kekarnya seperti magnet yang mampu menarik pandangan setiap orang di sekitarnya. Aku nggak heran, selain jangkung dan kekar, wajah khas pria Jawa dengan kulit kuning langsat, pasti mudah mengalihkan perhatian. Matanya teduh, memancarkan ketenangan saat mata itu menatap. Mata itulah yang menenangkanku selama ini, meringankan sedikit bebanku. Sebenarnya aku mewarisi sedikit banyak rupa Mas Ilham, hanya dalam versi yang lebih manis. Tubuhku cukup berisi, tapi nggak kekar. Tinggiku juga cuma 165 senti. Tapi kemudian aku tersadar. Aku langsung ingat pesan Ibuk, aku nggak boleh terlihat oleh Mas Ilham.

           “Ehm, aku lewat tangga aja, deh. Perutku kenyang banget ini. Takut gemuk.” Ujarku beralasan.

            “Gemuk? Plis, deh! Badan kamu itu isinya cuma tulang sama kentut, trus dibalut kulit. Nggak bakalan gemuk Cuma gara-gara makan batagor seuprit.” cerca Sinta. Aku hanya membalas dengan cengiran khasku. “Mau aku temenin?” Lagi, si Koko mencoba PDKT. “Nggak usah, aku sendirian aja. Kamu bareng mereka aja. Jagain si Sinta jangan sampai ngegosipin Mas Ilham di sebelah orangnya.” tolakku. Sinta melotot ganas tapi nggak ku gubris. Aku langsung melangkahkan kaki ku ke tangga darurat di pojok kanan lobi gedung ini.

            Aku sampai di lantai tiga, masih tiga lantai lagi, namun suara seseorang mendeham menghentikan langkahku. Mas Ilham. Dia berdiri bersandar di pintu darurat. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celananya kanan dan kiri.

            “Mau sampai kapan kamu sembunyi dari Mas-mu, Dik?” Mas Ilham buka suara. Aku menjengit kaget. “Kamu pikir Mas nggak tau kamu ngikutin Mas terus hampir dua tahun ini? Siapa yang nyuruh kamu? Ibuk?” Aku mengangguk lemah. Mas Ilham tersenyum manis, senyum yang selalu ditujukan padaku setiap aku melakukan kesalahan. Dia merentangkan kedua lengannya, mengundangku untuk masuk ke dalam rengkuhannya. Aku menyambut. Kutenggelamkan wajahku di dada bidangnya. Tangisku pecah.

            “Aku kangen, Mas. Aku liat Mas hampir setiap hari, tapi nggak bisa mendekat. Ibuk nggak mau Mas ngerasa diawasi,” Mas Ilham mengelus lembut punggungku, kemudian beralih ke rambutku. Aku melerai pelukan kami. Mataku dan Mas Ilham langsung tertumbuk ke satu tempat, kemeja di bagian dada Mas Ilham yang kini basah oleh air mataku. Aku malu, sumpah. Udah umur segini masih nangis, pakai acara bikin basah kemeja orang lagi.

            “Udah, nggak usah nangis lagi. Mas juga kangen. Tapi gimana, ya, Mas tau pasti kalau Ibuk yang nyuruh kamu, makanya Mas nggak mau ngerusak rencana kalian itu. Cuma tadi sebelum Mas masuk ke lift, Mas liat kamu pasang muka sendu. Mas nggak tahan. Nggak tega ngeliat Adik kesayangan Mas ini sedih,” Mas Ilham menangkup wajahku dengan kedua tangan besarnya, ibu jarinya menghapus jejak air mata di kedua pipiku.

            “Hmm, itu. Tadi temen aku gosipin Mas. Itu bener?” Mas Ilham tersenyum lagi. Dengan lembut Mas Ilham menjelaskan semuanya. Aku sesekali mengangguk mengerti. Beberapa menit kemudian Mas Ilham mengakhiri ceritanya. Ternyata aku salah menilai Mas-ku.

            “Ya, udah, sekarang kamu balik, gih. Naik lift aja. Nanti sore, jam empat, Mas tunggu kamu di parkiran, ya?” Aku mengangguk. Mas Ilham mengacak rambutku perlahan kemudian mempersilakanku pergi. Aku memasuki bilik lift, hanya ada beberapa orang di dalam. Aku mengecek kondisi wajahku melalui refleksi di dinding bilik. Syukurlah nggak terlalu kentara kalau aku baru aja menangis. Begitu lift tiba di lantai enam, pintu lift terbuka dan aku keluar menuju kantorku.

***

            Suara ketukan di pintu membuatku terjaga. Ku lirik sekilas jam di atas nakas, 11. Baru satu jam aku terlelap. Siapa orang kurang kerjaan yang bertamu hampir tengah malam begini?! Ah! Ketukan sialan di pintu bukannya mereda malah menggila. Mau tak mau pintu harus ku buka, jika tidak, tetangga akan protes sesegera mungkin.

            Kusingkap selimutku sepelan mungkin, berusaha agar dia tak terbangun. Dengan sangat perlahan, aku melangkah ke arah pintu depan, siap-siap memaki si manusia tak tau diri yang mengganggu tidur malamku. Telah kukumpulkan segala macam makian di kepala, siap untuk keluar sesaat lagi. Begitu pintu terbuka, wajah seram Pak Broto yang muncul di sana. Hm, harusnya sudah kuduga dia sebelumnya. Aku tak jadi memuntahkan sumpah serapahku.

            Mata Pak Broto merah, melotot seakan hampir keluar, badannya bergetar, menahan amarah. Tubuh kerdilnya yang hanya setinggi dadaku menegang. Aku hanya tersenyum melihat sosoknya. Ngomong-ngomong, Pak Broto ini adalah bos di salah satu kantor di gedung yang sama dengan kantorku, sekaligus suami dari si mungil yang sedang terlelap di ranjangku.

            “Ada yang bisa saya bantu, Pak Broto?” tanyaku sembari memberikan senyum termanisku.

            “Nggak usah sok manis! Aku tau Lia di sini!” suara Pak Broto menggelegar.

      “Oh, Bapak cari Lia, tho. Dia ada di kamar saya. Lagi tidur, mungkin kelelahan,” aku menggantung, kutundukkan tubuhku agar bibirku mendekat ke telinga paruh baya ini, “setelah tadi saya bantu ‘meringankan’ bebannya,” bisikku. Mendengar itu, kontan satu tinju melayang ke arah wajahku, tapi dengan mudah ku tepis. Kesal karena tinjunya tak jadi menyentuhku, Pak Broto mendorong tubuhku hingga terhuyung ke belakang. “Kamarnya itu, Pak, yang warna biru gelap,” ujarku sambil menunjuk ke arah pintu kamarku. Pak Broto mendengus, dengan sengaja menghentakkan kakinya keras ia berjalan ke arah pintu. Pintu kamar dibukanya, menampilkan Lia yang tidur nyenyak di balik selimut tebalku.

            “Dasar istri kurang ajar!” teriak Pak Broto begitu tiba di sisi ranjang. Lia, sang istri, terkejut mendengar teriakan suaminya. Tapi bukannya bertingkah seperti maling yang ketahuan mencuri, Lia malah terlihat seperti orang yang memergoki maling yang sedang mencuri.

            “Oh, jadi Mas udah datang? Saya tunggu dari tadi sampai ketiduran di sini. Udah selesai ‘bobo enak’-nya sama si Tiara? Atau hari ini giliran Sandra? Atau Jihan?” cecar Lia. Pak Broto kaget, tubuhnya agak mundur ke belakang.

            “Apa maksud kamu?!” teriaknya tak mau kalah.

            “Udah, lah, Mas, ga usah pura-pura. Aku udah tau gimana tingkahmu di luar. Aku liat sendiri Mas check-in di hotel bareng Tiara. Ngapain coba? Belajar ngaji? Atau main monopoli? Di hotel gitu? Apa aku kurang cantik, Mas?” Lia mulai bergetar. Air matanya menggenang, bersiap untuk jatuh. Aku bosan dengan drama keluarga seperti ini. Aku memutuskan kembali ke ruang tamu, menunggu mereka selesai bertengkar. Beberapa menit kemudian mereka keluar. Ku lihat Lia tersenyum manis, malah Pak Broto yang terlihat seperti baru menangis. Pak Broto berkali-kali meminta maaf, sedangkan Lia berterimakasih berulang-ulang. Setelahnya mereka pergi dari flatku. Keluarga kesekian yang aku selamatkan dari perceraian. Suasana kembali sepi. Lebih baik aku melanjutkan tidurku yang sempat terganggu tadi. Saat akan menutup pintu, ku lihat beberapa orang tetangga berbisik-bisik di depan pintu kamar mereka. Ah, pasti besok ini jadi gosip panas. Biarlah mereka berkata apa. Yang penting sekarang aku mau mengistirahatkan tubuhku.

***

            Aku berjalan tergesa-gesa ke arah lift. Ini udah jam setengah lima. Aku terlambat setengah jam dari waktu yang udah kami sepekati. Bukan sepenuhnya salahku. Tadi sebelum aku pulang, Koko lagi-lagi menggodaku, kali ini malah parah, dia mencoba memelukku dari belakang. Langsung aku dorong. Sayangnya dia menyenggol gelas berisi kopi milik Sutan di atas meja kerjanya. Gelas jatuh dan pecah berhamburan. Terpaksa aku bertanggungjawab membersihkannya. Koko sendiri bertanggungjawab dengan mengganti gelas Sutan itu karena katanya itu gelas kesayangannya. Untung aja Bu Dona, sekretaris Bos Bian, Bosku, nggak liat insiden ini. Kalau dia liat, pasti udah diperkarakan.

            Aku sampai di parkiran lantai dasar. Mas Ilham udah menunggu sambil merokok di sisi mobilnya. Begitu melihatku, dia berjalan ke arah tempat sampah yang berada nggak jauh dari tempat dia berdiri dan membuang batang rokok yang kulihat masih cukup panjang. Mungkin itu batang keduanya. Mas Ilham memang nggak mau merokok di dekatku karena Mas-ku itu tau aku benci rokok.

            “Kok lama, tho, Dik?” tanyanya begitu aku tiba di hadapannya.

            “Punten, Mas. Ada masalah tadi di kantor,” sahut pelan.

        “Yowes. Yuk lah kita langsung berangkat.” Mas Ilham membukakan pintu mobil untukku, kemudian berjalan memutar ke sisi kemudi mobil.

            “Mau kemana kita, Mas?” tanyaku begitu kami berdua udah di dalam. “Ikut aja. Mas nggak akan bawa kamu ke tempat yang macem-macem kok.” Aku mengangguk. Setelahnya kebisuan menguasai kami. Nggak sepenuhnya bisu, karena lagu Sego Liwet yang dikumandangkan indah oleh Mbakyu Waljinah, memenuhi kekosongan kami. Selanjutnya Mbakyu Waljinah dan Almarhum Gesang dengan lagu Pandan Wanginya yang menggelitik telingaku. Suasana tenang, ditemani tembang keroncong seperti ini melemparkanku ke memori bertahun-tahun silam, saat Ayah dan Ibuk masih baik-baik aja. Saat riangnya aku bercanda dengan mereka di atas becak dayung menyusuri jalanan kota setiap sabtu malam. Tanpa sadar mobil telah berhenti di pelataran kost-ku.

“Ngapain ke sini, Mas?” tanyaku.

“Kamu masuk sana, ambil barang-barangmu. Mulai hari ini kamu tinggal sama Mas aja,” Mas Ilhal menyahut santai.

“Tapi, Mas… Ibuk…”

“Udah, tenang aja. Kamu nggak usah bilang-bilang kalau kamu tinggal sama Mas. Udah, buruan sana. Keburu gelap ini.” Aku menurut, bergegas keluar dari mobil kemudian setengah berlari menuju ke kamarku di lantai dua. Beruntung aku mendapat indekost yang udah menyediakan perabotan di dalamnya. Jadi barang bawaanku nggak terlalu banyak. Hanya satu koper berukuran sedang berisi pakaian dan akuarium kecil berisi ikan mas koki yang kunamai Paijo, nama guru favoritku waktu SMP dulu.


Koper udah tersimpan rapi di bagasi, Paijo juga udah anteng di dalam akuarium bola di pangkuanku. Mas Ilham mulai mengemudikan mobilnya. Jarak dari kost-ku ke flat milik Mas Ilham nggak begitu jauh. Sekitar 20 menit, itupun kalau jalanan macet. Dan lagi-lagi, keheningan kembali menguasai kami, kali ini tanpa alunan musik keroncong. Karena bosan, kunyalakan lagi pemutar musik, kali ini Mas Didi Kempot yang bersuara, dan kami berdua menikmatinya dalam diam.

Tentang Moody

Halo pembaca kece! Di postingan kali ini, aku ditantang sama Kak Rina untuk menceritakan tentang tanggapanku terhadap seseorang yang mo...