Friday, August 25, 2017

Cuplikan Kisah Bully



Huhuhuhuhuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu...

Udah lama banget kayanya Penulis ga update. Gimana lah, kemarin-kemarin itu asek sibuk aja, ya, kan. Yang mau ujian lah, bikin soal  ujian di tempat ngajar lah, ngurusin Pentaru lah. Sampai pada satu titik Penulis ngerasa penat. Belah aja adek di kolam renang Unimed yang dalamnya tujuh meter itu, Bang! Jiah! Malah curhat!

Tapi, yaaaa, yang namanya hidup itu dijalani, bukan dipikirin. Ada tugas itu ya dikerjain, bukan direncanain terus. Dan syukur alhamdulillah, setelah dijalani, selesai juga. Lulus ujian, soal ujian udah diserahkan, berkas anak-anak seleksi Pentaru juga sebagian besar udah dikirim. Agak lega gitu. Tuh, kan! Curhat lagi.

Okelah, kali ini isi postingannya berupa potongan beberapa cerita pendek. Lain waktu kalau ide lancar, bisa jadi cerpen utuh, malah jadi novel pun. Amiiiin!

##########################################################################

Bel masih berbunyi nyaring kala aku dan Reno telah melenggangkan kaki kami di koridor sekolah. Hari ini kami dipulangkan lebih awal karena ada peringatan badai di kota sebelah dari pemerintah setempat. Semua terlihat terburu-buru, kecuali aku dan Reno. Rumah kami jauh dari ancaman badai. Maka dari itu kami hanya berjalan santai.

Barisan loker telah terlihat di depan mata. Masih ada beberapa orang di sana. Mataku menangkap sesuatu yang tidak beres di sana. Ada cairan yang keluar dari salah satu loker. Itu lokerku! Aku segera berlari menghampiri dan membuka lokerku dengan tergesa. Sial! Lokerku penuh lumpur! Jaketku, baju olahragaku, beberapa buku catatan, semua berubah warna jadi cokelat. Sial! Aku tau siapa pelakunya.

"Lagi, Rik?" ujar Reno sambil menepuk bahuku.

"Yah, seperti yang kamu lihat." sahutku santai. Aku mengeluarkan satu per satu barangku dari loker.

"Apa ngga sebaiknya kita laporkan hal ini ke Pak Harto?" tanya Reno sambil menutup lokernya yang tepat berada di sebelah lokerku.

"Ga usah. Ntar urusannya jadi runyam. Ini ngga seberapa kok." kupamerkan senyum termanisku.

"Tapi Erik, ini udah keenam kalinya dia mengganggu isi lokermu." raut wajah Reno berubah kesal.

"Hei, jangan lupakan laci mejaku yang udah tiga kali diisi berbagai macam serangga, juga tasku yang berkali-kali disangkutkannya di pohon beringin di depan sekolah." Aku menarik kantong besar yang aku letakkan di atas lokerku.

"Trus kamu diem aja gitu?" tangan Reno mulai ikut sibuk memasukkan barang-barangku ke kantong besar itu.

Lagi-lagi aku tersenyum, "Kamu ngga liat aja gimana ekspresi dia waktu aku meniduri adik tersayangnya, Juli."

"Jadi ini semua karena hal itu?" Reno berhenti sejenak sembari menoleh ke arahku.

Aku tetap melanjutkan kegiatanku, "Tentu aja. Dan aku udah punya rencana yang lebih hebat dari itu," seringaiku. Reno bergidik melihatku.

*Reno POV*

Pagi ini aku sarapan seperti biasa, dengan Ayah, Ibu, dan Kalina. Aku sedang asyik mengunyah panekuk-ku ketika Ayah mengagetkan kami semua.

"Ren! Lihat ini! Bukankah ini temanmu?!" ujar Ayah sambil menyodorkan koran yang sedang Ia baca. Aku menyambutnya dan langsung terbelalak begitu membaca judul besar berita, 'Siswa SMA Tewas di Tangan Temannya Setelah Meniduri Ibu si Pelaku.'

######################################################################

Aku selesai menyobek-nyobek beberapa buku catatan Diana. Kemudian ku siramkan minyak tanah ke atasnya, dan langsung ku bakar habis kertas-kertas itu.

"Kenapa kamu melakukan semua ini, Ta?" tanya Alika di sebelahku. Iya, ini udah kelima kalinya aku mengganggu kehidupan Diana, saudara tiriku yang baru sebulan ini tinggal bersamaku, Ayah dan istri barunya. Ibu udah meninggal tujuh tahun silam, dan baru bulan lalu, Ayah menikah lagi dengan seorang janda beranak satu, Diana. Dia seumuran denganku. Bahkan kini kami satu sekolah meskipun beda kelas karena kami memilih jurusan yang berbeda.

"Biar dia tau rasa, Ka. Kamu nggak tau gimana rasanya jadi aku." sahutku menatap bengis kobaran api di depanku.

***

Aku membuka pintu dengan perlahan, berharap tidak ada seorangpun yang akan terbangun. Ini sudah lewat tengah malam. Aku sengaja pulang larut karena menghindari Diana. Ayah mengabariku bahwa ia dan Ibu tiriku harus pergi ke Semarang karena Bu De Mar sakit keras tiba-tiba. Berarti di rumah hanya ada Diana.

Pintu depan udah aku kunci kembali, lalu aku berjalan berjinjit ke arah tangga yang menuju ke lantai 2 di mana kamarku berada. Sebelum aku mencapai tangga, tiba-tiba lampu ruang tamu menyala, membuatku dapat melihat sosok Diana yang berdiri anggun di dekat sakelar sambil melihatku dengan tatapan lapar. Ada cambuk di tangan kanannya dan sebatang besi panjang berwarna hitam di tangan kirinya.

"Halo, saudara tiri, kenapa baru pulang jam segini?" tanyanya santai namun terdengar menakutkan di telingaku. Ia berjalan mendekat sambil sesekali menjilat cambuk di tangannya, "kamu nggak tau, ya, kalau cambukku udah kangen dengan kulit mulusmu?" ucapnya lagi dengan tatapan iblis. Aku hanya bisa berdiri mematung di hadapannya. Tubuhku terasa kaku. Dan sepertinya, malam ini akan sama seperti malam-malam sebelumnya. Aku berharap, aku mati malam ini.

Oke! Itu aja cuplikan cerpen untuk postingan kali ini. Kali aja bisa jadi bahan inspirasi kalian untuk membuat cerita bergenre thriller. Kalo Penulis, mah, ngga usah ditanya, sekali mulai nulis, langsung lancar ini tangan untuk ngetik cerita dengan genre thriller. Asyik aja rasanya, ahahahaha *ketawa iblis*

Kamu suka bikin cerita thriller juga? Mau kolaborasi? Monggo ngomong di kolom komentar!

Tentang Moody

Halo pembaca kece! Di postingan kali ini, aku ditantang sama Kak Rina untuk menceritakan tentang tanggapanku terhadap seseorang yang mo...