Sunday, October 9, 2016

3 Poin Penting Jika Aku Menjadi Walikota Medan

Hai hai hai!

Postingan ini dibuat untuk memenuhi tantangan di event #Blogger'sChallenge yang temanya kali ini diajukan oleh saya sendiri.



Hmm, pernah kepikiran untuk jadi walikota Medan?

Engga, Penulis mah ga suka sama hal-hal berbau politik.

Terus kenapa Penulis mengajukan tema ini?

Well, Penulis suka dengan perubahan (kecuali perubahan perasaanmu terhadapku *elaaahhh). Jadi dengan mengajukan tema ini, Penulis pengen tau, kira-kira perubahan apa sih yang ada di kepala kawan-kawan sekalian.

Kenapa Medan?

Karena itu yang akrab dengan semua peserta. Lingkupnya juga ga terlalu luas, jadi menurut Penulis masih ringan lah ini.

Oke, kita langsung masuk ke topik pembicaraan!

Andai Aku Jadi Walikota Medan

Sebagai warga, pasti sering ngerasa, 'ini tuh harusnya begini' atau 'itu ga seharusnya begitu' dan sebagainya. Nah, gimana kalau kita pakai kacamata Penulis.

#1 Poin pertama, tentang kependudukan

Penulis punya mimpi untuk mengubah tatanan kependudukan di Medan seperti di Singapura atau contoh paling nyata, Jakarta. Penulis pengen di Medan itu rumah-rumah penduduknya berbentuk rusun (kalau di Singapura apartemen). Jadi, pemukiman padat di Medan, contohnya di Serdang aja lah, ya, yang dekat, diratakan dengan tanah. Nah di atas bekas tanah warga itu dibangun beberapa gedung rusun. Ga perlu tinggi-tinggi kaya di Singapura, kok. Cukup 2-3 lantai aja. Nah, satu kampung jadi satu lingkungan rusun.

Tujuannya apa? Jelas, untuk mengurangi penggunaan lahan. Jadi antara satu kampung dengan kampung yang lain ada lahan terbuka yang nantinya akan dimiliki oleh Pemerintah Kota Medan.

Nah, di masing-masing lingkungan rusun, fasilitasnya dilengkapi. Jadi di setiap lingkungan rusun, paling engga ada 4-5 toko kelontong, 2-3 warung nasi, 1 pasar tradisional, 1 klinik kesehatan (untuk cakupan yang lebih luas, klinik diganti dengan Puskesmas), 2-3 bengkel kendaraan, 2 halte bus, dan 1 kantor warga. Mungkin ada fasilitas lain yang terlupa. Tugas kalian lah itu untuk mengingatkan Penulis.

Lantas, siapa yang mengelola fasilitas-fasilitas tersebut?

Nah, di sini dibutuhkan peran aktif Pemerintah Kota Medan dan masyarakat. Jadi Pemerintah melakukan pembinaan kepada masyarakat agar mampu mengelola sendiri fasilitas yang ada di lingkungan rusunnya. Semua masyarakat berperan untuk mengelola fasilitas. Misal, pemilik toko kelontong dan karyawannya adalah warga lingkungan rusun tersebut, begitu juga pedangang di pasar tradisional, pekerja bengkel, perawat klinik dan petugas keamanan.

#2 Poin Kedua, tentang Mobilisasi Penduduk

Lagi-lagi, Penulis terinspirasi dari Singapura.

Jadi Penulis pengen semua alat transportasi umum berbentuk minibus ditiadakan. Jadi transportasi umum yang ada hanya dalam bentuk bus besar.

Loh, gimana dengan lalu lintas di jalan-jalan kecil?

Nah, masih ingat, kan, sama lahan kosong sisa dari pembangunan lingkungan rusun di poin pertama? Sebagian lahan kosong itulah yang digunakan untuk pelebaran jalan. Jadi bus besar bisa lewat dengan leluasa.

Transportasi di dalam lingkungan rusun gimana?

Untuk di dalam lingkungan rusun, masyarakat bisa menggunakan kendaraan pribadinya seperti sepeda, sepeda motor, dan becak motor. Tapi kendaraan pribadi tersebut cuma boleh berkeliaran di dalam lingkungan rusun.

Nah, gimana dengan mobil pribadi?

Mobil pribadi hanya boleh digunakan di jalan utama (jalanan di luar lingkungan rusun). Di setiap lingkungan rusun punya parkiran khusus mobil pribadi yang mana mobilnya cuma boleh digunakan untuk keluar lingkungan rusun. Jadi di jalan utama nantinya cuma ada bus umum dan mobil pribadi.

Kalau begitu, orang-orang akan berlomba untuk beli mobil, donk! Macet juga.

Kali ini Penulis mengadopsi sistem yang katanya diterapkan di Malaysia. Jadi setiap satu rumah penduduk (biar mudah, satu kartu keluarga) hanya boleh memiliki satu buah mobil pribadi atau dua sepeda motor. Jadi ga bakal ada kejadian membludak kendaraan di jalan utama. Yang punya mobil pribadi, silakan menggunakan mobilnya, yang ga punya, silakan naik bus umum. Tenang, armada bus umunya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, kok. Dan lagi, tenaga yang diserap dalam urusan per-bus-an ini diambil dari masyarakat. Ini bisa jadi lapangan kerja tambahan, kan?

Kira-kira ada bus yang bakal berhenti sembarangan, engga?

Jelas, engga. Kan tadi di poin pertama udah disebutkan kalau satu lingkungan rusun cuma punya dua halte. Jadi masyarakat kalau mau naik atau turun dari bus ya harus di halte itu. Mau turun di 'tengah' juga buat apa? Kan itu lahan kosong.

Tadi udah dibilang kan kalau busnya gede? Iya, busnya gede, mirip bus antar kota atau antar provinsi. Nah, pintu masuknya dibuat tinggi, jadi ga bisa naik-turun sembarangan. Kalau nekat, ya, mati (ahahahahahaha *ketawa jahat*).

Lanjut ke peraturan lalu lintasnya. Mereka masih sama. Tapi namanya orang Indonesia, kalau ga diawasi, ya ga patuh. Jadi ntar ada polisi di jalan-jalan utama. Kalau ada yang melanggar, sanksinya lumayan berat (ahahahahaha! Mampos! *ketawa nista*)

Oke, oke, kita ke poin terakhir, Tata Kota.

Kalau ini, Penulis mau bikin suka-suka Penulis, ga ngadopsi dari mana-mana.

Penulis mau di setiap kecamatan di kota Medan itu kantor-kantor pemerintahannya dipusatkan di satu lokasi, sekolah dan universitasnya, kantor-kantor swastanya juga. Jadi ntar di setiap kecamatan ada yang namanya Lingkungan Perkantoran (ini untuk kantor pemerintahan), Lingkungan Pelajar (untuk sekolah), dan Lingkungan Ekonomi (untuk kantor-kantor swasta). Nah, jarak tiga lingkungan ini ga boleh berdekatan. Jadi misalnya Lingkungan Perkantoran ada di wilayah paling utara kecamatan itu, Lingkungan Pelajarnya harus di wilayah paling tenggara, trus Lingkungan Ekonominya juga harus di wilayah paling barat daya. Ada yang kurang? Silakan koreksi.

Masih ingat sisa lahan kosong di poin pertama?

Nah, sebagian dari lahan kosong itu kan udah jadi jalan utama, sisa dari yang ga jadi jalan utama itu dijadikan lahan terbuka hijau. Bisa jadi taman kota, alun-alun atau hutan kota. Pokoknya hijau lah.

Kok perasaan ga ada bahas Mall, ya?

Hmm, mall dan tempat hiburan lain seperti kolam renang dan sebagainya akan disebar, disesuaikan dengan kepadatan penduduk. Jadi kalau penduduk di suatu lingkungan itu padat, mall dan tempat hiburan akan diletakkan agak jauh dari situ.

Udah, itu aja kali, ya? Abis posting ini, mau ngobrol-ngobrol manja sambil minum susu sama Pak Walikota yang asli biar jadi staf ahli Tata Ruang Kota. Lumayan, kerjanya cuma bikin rencana, yang ngerjain orang lapangan. Tapi mesti inget untuk peninjauan berkelanjutan juga, sih. Gapapa, yang penting kerjanya di kantor ber-AC sambil duduk-duduk cantik.

Penulis siap untuk tantangan berikutnya!

Tentang Moody

Halo pembaca kece! Di postingan kali ini, aku ditantang sama Kak Rina untuk menceritakan tentang tanggapanku terhadap seseorang yang mo...