Sunday, November 20, 2016

Cerita-cerita Seram Waktu Kecil Dulu

Wuuuuuuuuuuuuuuuu

Udah lama banget ga posting di sini, yaaaaa. Maafkeun, maafkeun!

Olrait, karena udah nunggak hutang terlalu lama, ga enak juga rasanya. Tapi mau gimana lagi, mood untuk nulis ga kunjung datang. Ditambah lagi saat ini lagi menyesuaikan diri dengan keadaan baru. Jadi, ya, proyek #Blogger’sChallenge ini kena tunda.

Tema kali ini ditelurkan oleh Lusty, katanya biar ada penyegaran, jadi yang seram-seram lah yang keluar. Sebenarnya judulnya agak ga cocok. ‘Waktu Kecil Dulu’. Ga cuma dulu, sampai sekarang juga Penulis masih kecil. Keciiiiiiiiiiiil banget. Dibandingkan 2 anggota cowok lainnya, badan Penulis, mah, jauh. Jauuuuuuuuuuh.

Jujur waktu dapat tema ini, Penulis langsung ga mood. Ga tau kenapa, rasanya enggan aja mengingat kisah lama (Baper, nih, yeeeee). Bukan, Penulis juga ga tau kenapa. Pokoknya ga mood aja lah. Ini aja udah dipaksa banget supaya ga nunggak lagi. Punya hutang itu ga enak lho! Apalagi hutang budi! Nah, lho, ga fokus lagi, kan!

Baiklah, cukup cakap sampahnya. Masuk ke pembahasan absurd Penulis, yao!

Cerita-cerita Seram Waktu Penulis Masih Kecil Dulu

1. Mbak Kunti Galak Penghuni Pohon Kantil

Mbak Kunti ini cukup menghantui kehidupan Penulis dari mulai Penulis kenal apa itu Mbak Kunti sampai Penulis duduk di bangku SMP.

Mbak Kuntinya ngikutin terus, ya?

Engga, sih. Mbak Kuntinya ga seusil itu. Beliau juga ga suka berkunjung. Beliau punya rumah sendiri, pohon kantil.

Pohon? Bukannya kantil itu bunga, ya?

Iyaa, kantil itu nama bunga. Tapi karena ini tanaman udah gede banget, udah ga cocok disandingkan dengan semak biasa. Makanya Penulis bilang pohon kantil.
Jadi, pohon kantil ini ada di halaman rumah milik salah satu tetangga Penulis. Jaraknya tiga rumah dari rumah orang tua Penulis. Harusnya ga masalah, dong, ya. Kalau ga mau ditakutin (meski sampai sekarang juga Penulis ga pernah tau gimana wujud beliau ini) tinggal menjauh dari situ. Iya, Penulis tau. Sayangnya, Penulis harus ngelewatin pohon itu kalau mau ke Mesjid. Sebenarnya ada satu jalan lain. Tapi keadaannya bahkan lebih seram dari jalan ini.

Jadilah, setiap malam, sepulang dari sholat maghrib atau saat berangkat untuk sholat isya, Penulis akan olahraga jantung ngelewatin jalan ini. Ga panjang, kok, jalannya, cuma sekitar 50-70 meter aja. Tapi beneran seram. Di kanan-kiri jalan cuma ada sawah, di sekitar pohon itu juga semak-semak. Ga ada rumah orang di sekitar jalan itu selain rumah yang punya pohon kantil itu. Lampu jalan juga lebih sering mati. Suasana mendukung banget lah.

Nah, kalau Penulis lewat jalan itu, Penulis akan jalan cantik kaya model-model di panggung kucing berjalan. Mau lari, gengsi. Mau jalan santai juga ga mungkin. Sambil komat kamit baca beberapa surat pendek, juga berusaha keras supaya ga noleh ke kanan kiri. Ga jarang Penulis lewat situ sambil tutup mata juga. Pokoknya keliatan banget kalau lagi ketakutan, deh. Belum lagi kalau tiba-tiba tercium aroma bunga kantil. Hiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii, itu udah ga karuan lagi, lah perasaan Penulis. Tapi tetep, harus jalan cantik, ga boleh lari.

Cerita punya cerita, tetangga bilang, sih, di situ emang tempat tinggal si Mbak. Jadi udah beberapa kali si pemilik rumah itu berencana untuk menebang pohon kantil itu, tapi ga berhasi. Sekali waktu, ‘katanya’ orang yang mau nebang itu pohon udah keburu diplototin di Mbak duluan, nyalinya jadi ciut. Kali yang lain, udah ada yang sempat hampir nebang pohon itu juga, tapi langsung sakit keesokan harinya. Katanya sih si Mbak ngikutin dianya.

Jadi sekarang gimana kabar pohon itu?

Penulis ga tau. Tiap pulang kampung ga pernah kepikiran buat nanya. Sekarang juga kalau lewat situ juga biasa aja. Mau gelap juga bodo amat. Kalau misalnya si Mbak muncul, tinggal pingsan. Selesai perkara. Ahahahahahahahaha… *ketawa nista*

2. Raja Harimau di Belakang Rumah

Rumah orang tua Penulis itu baru dibangun sekitar tahun 2001. Sebelumnya, tanah itu kosong. Kadang cuma diisi semak belukar, kadang ditanami tamanan musiman. Setelah dibangun rumah, keadaan jadi lebih terang.
Tapi ada cerita ga enak dari tetangga tentang belakang rumah orang tua Penulis.

Jadi mereka bilang, di belakang rumah itu tinggal makhluk mulus berwujud harimau. ‘Katanya’ dia punya badan guedeeee. Emang, sih, belakang rumah itu agak seram, apalagi semenjak ditanami pohon sawit oleh yang punya. Makin rimbun, deh, itu.

Karena ‘kemakan’ kata-kata tetangga, setiap malam kalau buang air (kebetulan jendela kamar mandinya langsung mengarah ke halaman belakang, jendelanya berupa kaca bening, jadi yang di luar bisa liat yang di dalam, begitupun sebaliknya) Penulis ga berani liat ke jendela. Jadi setiap ke kamar mandi mesti menunduk, ga berani mengangkat pandangan ke depan. Di pikiran Penulis, itu harimau lagi ngeliatin Penulis pipis atau pup. Makanya Penulis ga berani berlama-lama di kamar mandi kalau malam.

Tapiiiiiiiiiiiii, itu dulu. Sekarang malah kadang jendelanya itu Penulis plototin. Kali aja ada yang lewat. Ihihihihihihihi…

Udah, deh, dua aja cukup. Penulis ga tau diri ini ga punya ide lagi. Sebenarnya masih ada, cuma udah ga tau lagi gimana merangkai katanya. Jadi, penulis akhiri sampai di sini.

Ayo, yang punya pengalaman serupa, monggo bagi di kolom komentar.

Tentang Moody

Halo pembaca kece! Di postingan kali ini, aku ditantang sama Kak Rina untuk menceritakan tentang tanggapanku terhadap seseorang yang mo...