Thursday, December 1, 2016

Lika-Liku Rindu yang Merasuk ke Kalbu


SEKELUMIT RINDU DI UJUNG HARI


Sekawan sejati diri sendiri
Tiada berdua selain bayang dan sepi
Kala rintik menghujam bagai duri
Dingin meresap tiada peri

Adalah langit saksiku
Beserta semua tembok bisu
Bukan mengurung namun padu
Hitung ratusan berakhir satu

Luka lebam tak tersebut lagi
Luka hati merongrong kian kemari
Hai rindu memeluk tanpa henti
Aku kawanmu di sini


Uhuy! Postingan kali ini masih berhubungan dengan proyek #bloggers’ Challenge. Temanya Penulis sendiri yang mengajukan.

Apa temanya minggu ini?

Well, berhubung Penulis sedang dalam masa baper akut, Penulis mengajukan tema ‘Rindu’, hehehe…

Sebenarnya Penulis juga ga tau apa yang mau Penulis tulis. Tapi, berhubung lagi baper, mari kita biarkan semua mengalir. Ini juga disempatkan di sela waktu mengajar, numpang wi-fi sekolah lagi.

Apa yang bisa kita ceritakan dari rindu?

Jawabannya, banyak.

Rindu

Rindu adalah rasa yang muncul saat kamu berada jauh terlalu lama dengan sesuatu yang terikat secara emosional dengan diri kamu.

Apa itu?


Bisa apa saja, seseorang, entah itu keluarga, kawan karib, pacar, mantan pacar, atau momen, entah itu momen makan bersama keluarga, momen bercengkrama dengan kawan karib dan sebagainya.

Kamu bisa dengan mudah merasa rindu jika kamu mendapati hal yang mengingatkanmu pada sesuatu yang terikat secara emosional denganmu. Bisa jadi rindu langsung menyeruak saat tak sengaja melihat foto si doi, atau bisa jadi rindu mengepung saat kamu melihat seorang ibu yang sedang memeluk anaknya, entah itu di televisi atau di sekitarmu.

Nah, menurut Penulis, apa esensi rindu itu sendiri?

Jika kita bicara tentang rindu, maka kita bicara tentang kualitas, iya, kualitas pertemuan.

Rindu membuat suatu pertemuan menjadi lebih bermakna, membuat perjumpaan terasa lebih mengikat, membuat tiap detik kebersamaan tak ternilai harganya bahkan oleh emas berlian. Untuk itu, perlu ada jarak, perlu ada waktu, perlu ada jeda agar rindu menjadi bumbu penyedap rasa di setiap pertemuan. Sibukkan dirimu, merantaulah, namun ingat untuk kembali, ingat untuk tetap saling menyapa meski hanya lewat suara, meski hanya lewat media sosial. Buat jarak, ciptakan jeda, namun batasi. Ingatkan dirimu untuk tetap menjaga ikatan itu. Pergi jauh, merantau, namun jangan terlalu lama, jangan terlalu jauh. Ingat rasa jenuh yang bisa kapan aja hadir di antara kalian.

Jika rindu adalah penyedap rasa, maka jenuh adalah cendawannya. Cendawan bernama jenuh ini mengerikan. Sekali tumbuh, maka butuh usaha yang ekstra untuk menghilangkannya.

Dengan apa?

Pertemuan. Iya, pertemuan.

Pertemuan membuat rindu menawar cendawan, mengikisnya. Sebisa mungkin, mengikisnya hingga habis.

Bicara jarak, bicara merantau, maka tak afdol kalau kita tidak bicara tentang LDR.

Bagaimana pendapat Penulis tentang LDR?

LDR atau Long Distance Relationship alias hubungan jarak jauh, adalah hubungan yang dibina dua insan, baik itu pacaran maupun pernikahan, yang terpisah oleh jarak karena alasan tertentu. LDR ini ada dua jenis, LDR awal atau LDR tengah. LDR awal itu LDR yang terjadi via media sosial. Jadi si kedua insan ini belum pernah ketemu secara langsung sama sekali. Mereka hanya ketemu secara visual, entah itu via suara maupun panggilan video. Jenis LDR yang kedua itu LDR tengah. LDR tengah ini udah menjalin hubungan jarak dekat terlebih dahulu. Tapi karena satu dan lain hal, mereka harus terpisah secara jarak. Biasanya, sih, karena tuntutan pekerjaan.

Penulis sendiri pernah LDR engga?

Pernah, beberapa abad silam. Dan, well, yeah, Penulis ga berhasil mempertahankan LDR itu. Entahlah, LDR itu terasa omong kosong bagi Penulis. LDR ga ubahnya seperti jomblo berstatus pacaran. Kenapa? Jelas donk, statusnya aja yang pacaran, giliran ditanya mana pacarnya, ga ada.

Penulis cuma pengen rasional aja. Pacaran itu ketemuan. Meskipun engga tiap hari, setidaknya dalam seminggu itu punya waktu berdua. Kalau ga ketemu sampai berbulan-bulan, mah, Penulis angkat tangan meskipun Penulis bukan Shaggy di iklan sabun hidupbuoy.

Cukup, kali, curhatnya, ya?

Oke, balik lagi ke topik, rindu.

Apa lagi yang bisa kita bicarakan dari rindu?

Sekarang kita bicara tentang obat rindu.

Loh, tadi disebutkan kalau rindu adalah penyedap rasa. Lantas kenapa rindu harus diobati?

Seperti sebuah masakan, sudah sewajarnya jika penyedap rasa yang dibubuhkan sesuai dengan takarannya. Bagaimana jika penyedap rasa diberikan berlebihan ke dalam masakan? Jelas, masakan akan kehilangan rasa sedapnya. Bahkan, tak jarang makanan tersebut akan berubah menjadi racun, cendawan.

Kalau begitu, bagaimana mengobati rasa rindu?

Udah kita bahas juga di atas, ketemu.

Kamu rindu dengan orang tuamu di kampung, otomatis kamu akan berpikir untuk pulang ke kampung halaman atau membelikan tiket perjalanan untuk orang tuamu agar bisa datang ke tempatmu.

Kamu rindu dengan pasanganmu, pasti kamu akan membuat rencana untuk ketemu dengan doi, entah itu makan malam romantis, nonton film bareng di rumah sambil pelukan dan sebagainya.

Itu aja cukup?

Cukup itu relatif. Setiap orang punya porsi masing-masing. Ada yang cukup hanya dengan bertatap muka, ada yang cukup dengan mengobrol beberapa jam atau berpelukan, tapi juga ada yang baru merasa cukup saat mereka sudah tidur bareng, mandi bareng, sarapan bareng. Well, tergantung orangnya, kan?

Tentang rindunya, udah. Bahas LDR juga udah. Obat rindu, yang di atas, nih. Udah cukup donk kalau gitu, ya? Belum cukup? Ya udah, dicukup-cukupkan aja.

Punya pengalaman LDR? Atau punya pandangan sendiri tentang rindu? Bagi aja di kolom komentar.


Oke, itu aja. Penulis siap untuk tema berikutnyaaaaaa!

Tentang Moody

Halo pembaca kece! Di postingan kali ini, aku ditantang sama Kak Rina untuk menceritakan tentang tanggapanku terhadap seseorang yang mo...