Tuesday, January 17, 2017

Kasus Tabrakan Pekerjaan


Apaan, sih, judulnya? Ga banget!

Ga usah bahas judulnya, ya. Penulis juga bingung mau bikin judul apa yang pas.

Jadi, kan, di proyek Bloggers’ Challenges kali ini, Si Aunty Betha ga kasih topik seperti biasa. Dia malah kasih kita, para ABC, sebuah kasus di mana masing-masing dari kita dimintai pendapatnya seandainya terjebak di situasi seperti itu. Seperti apa situasi yang dimaksud? Begini:

“Bayangkan seandainya kamu punya cita-cita pengen jadi seseorang atau pengen punya pekerjaan, penggali lubang kubur misalnya. Tapi kamu ga kunjung mendapatkan pekerjaan itu. Nah, suatu hari, kamu ditawari pekerjaan yang bukan penggali lubang kubur, tukang sedot tinja misalnya, dengan gaji separuh dari seorang penggali lubang kubur. Kira-kira apa yang kamu lakukan? Pilihan apa yang akan kamu ambil?”

Well, sebelum kita cerita tentang pilihan yang akan Penulis ambil, ada baiknya kita definisikan dulu apa pekerjaan itu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima yang merupakan aplikasi luring (luar jaringan/offline) di Play Store Android yang resmi dirilis oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (kalian para penulis Indonesia wajib punya ini di ponsel pintar kalian, soalnya dari yang Penulis liat, banyak banget kata-kata harian kita yang ga sesuai dengan KBBI, maaf malah promosi), “Pekerjaan adalah pencaharian, sesuatu yang dijadikan pokok penghidupan, sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah.”

Oke, itu definisi pekerjaan menurut KBBI. Sekarang kita beralih ke definisi pekerjaan menurut Penulis.

Menurut Penulis, “Pekerjaan adalah sesuatu yang tidak kamu sukai, dan kamu dibayar untuk melakukannya, atau merujuk ke kata ‘bekerja’ yang Penulis maknai dengan situasi atau kondisi di mana kamu dibayar untuk melakukan sesuatu yang tidak kamu sukai.”

Oke, kenapa Penulis berpikir seperti itu?

Jadi, setelah Penulis melakukan riset abal-abal di lingkungan sekitar Penulis, Penulis dapati bahwa sebagian besar orang itu tidak menyukai pekerjaannya, tapi terpaksa tetap menjalaninya karena tuntutan ekonomi dan masyarakat.

Masyarakat? Kok bisa?

Kalian tau engga, sih, kebanyakan masyarakat itu suka banget mencibir. Orang bagus dicibir, orang buruk juga dicibir. Apa korelasinya dengan pekerjaan? Nah, di jaman sekarang, menjadi pengangguran itu dianggap sebagai momok yang menakutkan. Itu makanya banyak banget mantan mahasiswa yang baru tamat, atau bahasa kerennya fresh graduate, dan belum memiliki penghasilan menjadi bulan-bulanan tetangganya, bahan cacian segala macam. Mungkin secara fisik para mantan mahasiswa ini terlihat baik-baik aja. Tapi jika ditinjau dari sisi psikologinya, mereka ini ngga bisa dikategorikan ke dalam manusia yang baik-baik aja. Cacian dan sindiran itu jadi tekanan, lho buat mereka. Salah-salah malah jadi terganggu jiwanya.

Oke, kembali ke pekerjaan. Banyak dari pekerja ini yang sebenarnya punya bakat lain, atau punya minat lain selain yang dikerjakan di dalam pekerjaannya, tapi karena keterbatasan satu dan lain hal, mau ga mau, suka ga suka, mereka harus melakukannya.

Jadi, Penulis menyimpulkan kalau pekerjaan itu erat hubungannya dengan hal yang ngga menyenangkan.

Lantas, kalau si pekerja senang atau suka dengan yang dikerjakannya, Penulis sebut apa?

Itu Penulis sebut dengan hobi berhadiah. Iya, jadi kalau kamu suka menyedot tinja, terus kamu memilih untuk menjadi seorang penyedot tinja, kemudian kamu menjadi penyedot tinja yang sukses, maka kamu menjadi orang yang dibayar untuk melakukan sesuatu yang kamu suka, menyedot tinja.

Kaya Penulis, nih misalnya, saat ini mengajar kursus di sore hari. Cukup menghasilkan. Tapi setiap ditanya orang, “udah kerja belum?” Penulis akan jawab kalau Penulis belum bekerja. Kenapa? Karena Penulis suka mengajar. Mengajar itu asik, apalagi mengajar anak-anak usia tanggung, kelas empat SD sampai kelas 1 SMP.

Kenapa mengajar mereka asik?

Di usia segitu, mereka udah mulai bisa diajak kerjasama untuk belajar, tapi juga masih mau diajak main. Mengajar itu butuh kerjasama yang baik antara pendidik dan yang dididik, lho. Kalau  kerjasama berjalan alot, kegiatan belajar mengajar ga akan berhasil. Dan di usia segitu, kalau si pendidiknya kreatif, kegiatan belajar jadi makin asik karena bisa dikombinasikan dengan permainan yang pastinya harus memiliki nilai edukatif. Nilai tambahnya untuk si pendidik, sambil mengajak para peserta didik main, mereka juga bisa ikutan main yang otomatis mengulang atau mengembalikan masa anak-anak mereka. Itu bisa mengurangi stres lho. Jadi tambah sehat, kan? Intinya, beruntunglah kalau kamu mencintai apa yang kamu kerjakan. Kalau ga cinta gimana? Usaha untuk jatuh cinta dulu. Kalau ga cinta juga, ya, ga usah dipaksa. Cukup berusaha menjalani sambil mencari alternatif yang bisa kamu kerjakan. Tapi alternatifnya harus yang kamu suka, loh, yaaaaa.

Duh! Melebar entah kemana-mana. Baiklah, sekarang kita masuk ke kasus.

Seandainya Penulis pengen jadi penggali lubang kubur tapi ga kesampaian, malah dapat tawaran jadi tukan sedot tinja dengan gaji setengah dari penghasilan seorang penggali lubang kubur, Penulis akan ambil pekerjaan sebagai tukang sedot tinja. Tapi, ini ada tapinya lho, ya, Penulis ga menjadikan ini sebagai pekerjaan tetap. Penulis jadi tukang sedot tinja hanya sekedar mengisi waktu kosong, sekaligus memanfaatkan diri supaya ga terlalu bergantung ke orang tua. Yaaaah, paling engga, dengan menjadi tukang sedot tinja, uang jajan ga perlu minta orang tua lagi. Nah, selagi menjalani profesi sebagai tukang sedot tinja, Penulis juga usaha melamar pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Jadi, waktu Penulis ga abis di penantian-penantian panggilan wawancara yang ga jelas.

Penulis ga mau dong, ya, jadi tukan sedot tinja terus. Sayang gelar S. P. L. K.-nya, sarjana penggali lubang kubur. 4 tahun itu, lho, kuliahnya. Udah bolak balik masuk lubang, kotor-kotoran, belajar geologi ama geografi biar paham kondisi dan tipe-tipe tanah untuk memudahkan proses penggalian. Menggali lubang kuburan itu perlu proses, lho! Liat ciri-ciri tanahnya, meneliti unsur-unsur yang terkandung di dalamnya,  menentukan teknik dan cara kerja penggalian serta peralatan yang digunakan. Itu semua ga mudah. Kan ga lucu 4 tahun berjibaku dengan tanah, terus pas kerja, temenan sama tinja. Yaaaah, meskipun tinja ntar jadi tanah juga, tapi tetep aja beda.

Hmm, oke lah. Mungkin itu aja dari Penulis abal-abal ini. Semoga bisa menjadi pencerahan bagi Aunty Betha dan pembaca sekalian.

Kenapa? Kamu ga setuju? Berkicau gih di kolom komentar!

Tentang Moody

Halo pembaca kece! Di postingan kali ini, aku ditantang sama Kak Rina untuk menceritakan tentang tanggapanku terhadap seseorang yang mo...